Prolog

17 0 5
                                    

"Sampai kapan pun gue nggak bisa ngelupain lo, Elena."

Napasku terasa sesak. Beberapa tetes air mata kuusap dengan pelan. Kertas yang semula kering kini sudah basah karena air mataku yang tak henti-hentinya turun. Aku sudah berusaha untuk melupakannya. Namun, nama Elena, gadis yang kucinta terus memenuhi isi kepalaku.

Aku menatap langit-langit kamar dengan sendu. Tak ada yang bisa mengubah perasaanku. Tak ada juga yang bisa menghapus rasa rindu dan cinta ini untuknya. Kecuali ... dia. Yah, aku akan berhenti mencintainya jika dia menyuruhku sendiri untuk melupakannya.

Beberapa saat kemudian, aku menarik nakas meja. Mengambil amplop coklat dan membukanya. Terlihat kertas bertuliskan nama diriku, serta beberapa keterangan kesehatanku. Andai, hal ini tidak terjadi pada diriku, mungkin saja Elena akan hidup bahagia bersamaku.

Sesaat aku tersenyum, lantas mengambil kertas kosong dan sebuah bolpoint. Kutulis beberapa kalimat di sana. Tentu, aku menuliskan sesuatu yang nantinya akan diberikan kepada Elena.

Elena Rosalina.

....

12:45 WIB
Senja Coffee

Seperti biasa, aku pergi ke sebuah cafe namanya Senja Coffee. Tempat favoritku menuangkan isi hati di sana dengan menulis dan melukis. Hanya saja kali ini aku ditemani oleh kakakku. Sebetulnya aku ingin pergi sendiri, cuman dia terlalu khawatir dengan kondisiku. Yah, sebagai anak bungsu aku tak bisa menolak keinginan orang yang lebih tua.

Setelah memilih tempat duduk, tak banyak percakapan di antara kami. Aku yang hanya melanjutkan membaca novel kesukaanku sedangkan kakak, tengah sibuk memperhatikan sekitar. Haa ... Dia memang jarang ke kafe. Paling sering nongkrong barengnya di markas. Ssst, sebetulnya dia itu ketua geng motor.

"Ternyata enak juga di sini," ucapnya memecah keheningan.

"Ha? Ya begitulah. Kakak suka?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari novel.

"Gimana nggak suka kalau di sini pelayannya gelis-gelis."

"Lah? Vano baru tahu kalau kakak juga demen sama yang begituan."

Sekilas, muka kak Elvio memerah. Dia lantas memalingkan wajahnya dariku. Lucu juga.

"Kenapa, kak? Nggak usah nelen tomat segala kalau nggak pengen dilihat."

"Apaan sih, Lo. Ini nih udara di sini panas banget, AC nya nggak dihidupin napa?" kata kak Elvio salah tingkah.

Rutinitas membaca novel kuhentikan saat itu juga. Menurutku kejadian langka ini lebih menarik daripada isi novel yang kubaca sebelumnya. Nggak biasanya kakakku ini memperlihatkan semburat merah di wajahnya.

"Daritadi AC-nya nyala kok, mas."

Elvio gelagapan setelah mendengar suara wanita dari arah belakang. Ternyata itu Senja, orang yang kukenal pertama kali semenjak berada di kafe ini. Orangnya kalem, ramah, sopan, dan sabar. Idaman banget, deh. Sayangnya, hatiku sudah terisi sama wanita lain.

"Oh nyala, yah? Mungkin nggak sesuai suhunya dengan tubuh saya. Lagi demam soalnya, yah ... Demam."

"Alasan mulu kamu, kak."

"Diem Lo."

"Mas Vano ke sini lagi? Seperti biasa?"

"Aduh, mbak. Kalau sama dia mah jangan di mas-mas. Nanti dia melayang loh nanti. Nggak ada yang nangkep, emangnya mbaknya kuat buat nangkep dia?"

"Jangan mancing emosi orang deh, kak. Oh iya. Kalau sama aku jangan panggil mas. Panggil Vano aja, kan aku udah sering bilang ke kamu, panggil nama aja kalau sama aku. Nggak usah sungkan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pesan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang