03

10.2K 360 7
                                        






Nanon duduk di tepi ranjang, jari-jarinya menggenggam erat kain selimut seakan itu bisa memberinya ketenangan. Pikirannya berputar, menimbang pilihan yang semakin menghimpitnya.

Apa aku harus terus berada di sini tanpa status yang jelas? Meninggalkan Nonnie sendirian di luar sana? Tapi jika aku pergi... aku malah akan menjatuhkan satu-satunya keluargaku ke dalam bahaya.

Dia menghela napas berat. Tidak ada jalan keluar.

"Setidaknya aku bisa menelponnya... tapi bagaimana caranya meminta izin dari pria itu?"

Tanpa disadari, Ohm telah berdiri di ambang pintu, mendengarkan setiap kata yang meluncur dari bibir Nanon. Saat dia akhirnya melangkah masuk, Nanon terkejut dan segera berdiri, mundur beberapa langkah. Tapi Ohm terus maju, mendesaknya hingga terpojok ke dinding kamar yang dingin.

"Why are you so scared of me, baby?" Ohm berbisik, suara rendahnya menusuk langsung ke telinga Nanon. Lengan kekarnya melingkar di pundak kecil pemuda itu.

"A-aku tidak takut padamu..." Nanon tergagap, meski tubuhnya jelas menunjukkan sebaliknya. Kenangan malam sebelumnya masih begitu nyata—rasa sakit, ketidakberdayaan, dan tatapan Ohm yang gelap saat menghancurkan batas-batasnya.

Nanon menggigit bibir, menekan ketakutan yang mulai merayap ke seluruh tubuhnya. "A-apa aku boleh meminjam ponselmu?"

Ohm terdiam sejenak, lalu mengangkat alisnya dengan senyum licik. "Tentu... dengan satu syarat."

Seketika dada Nanon bergemuruh. Dia tahu Ohm tidak akan memberinya sesuatu tanpa balasan.

"A-apa syaratnya?" suaranya bergetar.

Ohm tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menarik Nanon ke dalam pelukannya, jari-jarinya menyusuri tengkuk pemuda itu dengan gerakan lambat. Nafas hangatnya menyentuh kulit sensitif di sekitar telinga Nanon, membuatnya menggigil.

Tidak... dia akan melakukannya lagi...

Nanon berusaha menahan diri, tetapi tubuhnya sendiri mengkhianatinya. Ohm sudah tahu titik lemahnya, dan pria itu tanpa ragu menggunakannya untuk membuatnya lemas. Dengan sentuhan dan bisikan menggoda, Ohm dengan mudah membuat Nanon kehilangan kendali.

Saat aroma khas seorang omega mulai memenuhi ruangan, Ohm tersenyum puas. "Aku belum memberitahumu syaratnya... tapi kurasa kau sudah tahu, sayang."

Tanpa menunggu jawaban, Ohm mengangkat tubuh Nanon dan membaringkannya di atas ranjang. Nanon, yang sudah sepenuhnya terperangkap dalam permainan pria itu, hanya bisa memejamkan mata.

---

Keesokan Paginya

Ketika Nanon terbangun, rasa sakit yang menyengat dari tubuh bagian bawahnya langsung mengingatkannya pada kejadian semalam. Dia menggigit bibir, menahan air mata yang mendesak keluar.

Kenapa aku sangat bodoh? Kenapa aku menuruti permintaannya?

Dia terisak lirih, tidak menyadari bahwa Ohm sudah bangun dan tengah mengamatinya dengan tatapan tajam.

"Kau sudah melakukan syarat yang kuberikan," suara Ohm terdengar datar. Dia menyerahkan ponselnya ke tangan Nanon yang gemetar.

Dengan ragu, Nanon menerimanya dan segera mengetik nomor adiknya. Ketika sambungan tersambung, suaranya bergetar saat berbicara,

"Halo... ini Kakak."

Kak! Dimana kakak? Nonnie khawatir! Kakak tidak pulang selama dua hari!

Nanon menelan ludah, berusaha menahan emosi. "Kakak baik-baik saja. Kakak belum bisa pulang sekarang, tapi nanti... kakak akan mengabari Nonnie."

ᴛʜᴇ ᴅᴀʀᴋ ɴᴇsᴛ - ᴏʙsᴇssɪᴏɴ ᴀɴᴅ ᴛᴏxɪᴄ ʟᴏᴠᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang