04

6.7K 336 20
                                        







Sunyi menggantung di udara, berat seperti dosa yang tak terucap. Nanon menatap langit-langit kamar dengan mata kosong, tubuhnya tertahan di ranjang seolah jaring tak kasat mata melilitnya. Ia telah terbangun, dan bagi seseorang seperti dirinya—tidur kembali adalah kemustahilan.

Ohm telah pergi, meninggalkannya begitu saja setelah meminjamkan ponselnya tadi malam.

05.11 AM

Udara dini hari terasa dingin, membekas di kulit seperti bisikan samar yang menggoda untuk berpikir lebih dalam dari seharusnya. Diliputi kebosanan dan kegelisahan yang tak beralasan, Nanon melangkah keluar dari kamar, niatnya sederhana—sekadar meneguk air dingin untuk menyegarkan pikirannya yang kusut.

Namun, ketika ia berdiri di dapur, merasakan dinginnya air mengalir di tenggorokan, suara aneh menggema di antara dinding-dinding sunyi mansion itu. Samar, namun cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.

Seketika, pikirannya berkelana.

Sial… apa di sini ada hantunya?

Mungkinkah yang ia dengar adalah suara arwah penasaran? Atau lebih buruk—sebuah kebenaran yang tidak siap ia hadapi?

Didorong oleh rasa penasaran yang bercampur ketakutan, Nanon mengikuti sumber suara itu. Langkahnya pelan, nyaris tak bersuara, sampai akhirnya ia tiba di depan sebuah kamar yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya.

Pintu tidak terkunci.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, lalu mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.

Dan dunianya runtuh.

Di balik pintu itu, ia melihat Ohm—orang yang selama ini diam-diam mengisi ruang hatinya—tenggelam dalam gairah bersama seorang wanita yang bahkan mungkin tak ia kenal namanya. Tubuh mereka menyatu dalam bayangan redup, desahan samar terdengar bagai belati yang mengoyak perasaan Nanon tanpa ampun.

Sakit.

Seperti dihantam ribuan jarum tajam sekaligus.

Namun, siapa dia untuk merasa terluka? Apa haknya untuk cemburu?

Dalam diam, ia melangkah mundur, ingin menghilang sebelum emosi menghancurkannya lebih jauh.

Brak!

Sebuah vas bunga jatuh dan pecah berkeping-keping di belakangnya.

Nanon membeku.

Ketakutan menyergapnya. Ohm pasti mendengar itu. Tanpa pikir panjang, ia berlari kembali ke kamarnya, merapatkan tubuh ke dalam selimut, berusaha menelan isak tangisnya sendiri.

Di sisi lain, Ohm yang mendengar suara pecahan kaca segera menghentikan kegiatannya. Ia menoleh ke arah pintu dengan sorot mata berbahaya. Wanita di ranjang masih terengah, tidak menyadari perubahan suasana.

Tanpa ragu, Ohm bangkit, meraih segepok uang, lalu meletakkannya di atas meja. “Ambil itu. Pergi sebelum matahari terbit,” suaranya dingin, tanpa emosi.

Wanita itu tidak protes, hanya mengangguk, lalu kembali menyelubungi dirinya dengan selimut.

Ohm melangkah keluar, pikirannya hanya dipenuhi satu kemungkinan—jika yang melihatnya adalah pelayan, ia bisa mengabaikannya. Namun, jika itu Nanon…

Seketika, langkahnya semakin cepat.

Saat tiba di depan kamar Nanon, ia menemukan pintu masih tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kehadiran siapa pun.

Tapi… sesuatu terasa tidak benar.

Dengan perlahan, ia masuk.

Nanon ada di sana, menggigil di bawah selimut, tubuhnya bergetar halus—seakan sedang bertarung dengan badai di dalam dirinya sendiri.

Ohm mendekat, duduk di tepi ranjang, membiarkan keheningan melingkupi mereka.

Lalu, suara itu datang. Pelan, tapi menusuk.

“Kenapa kau di sini? Bukankah kau sedang bersenang-senang dengan wanita itu?”

Ohm terdiam.

Nanon masih menggenggam ujung selimutnya erat, seolah itu satu-satunya perisai yang melindunginya dari kenyataan. Air mata sudah lebih dulu membasahi pipinya, meski ia mencoba menyembunyikannya.

"Apa aku juga hanya sekadar pelacur bagimu?" suaranya gemetar, bergetar di udara seperti kaca yang siap pecah. "Waktu itu… kau bilang mencintaiku. Tapi nyatanya, aku tidak lebih dari pemuas nafsumu, bukan?"

Ohm menghela napas, menundukkan kepala. Ia tidak tahu bagaimana menjawab itu.

“Ya,” jawabnya akhirnya. “Kau memang hanya pelacurku.”

Nanon membeku.

“Tapi…” suara Ohm melembut, seakan ragu dengan dirinya sendiri. “Aku tidak tahu apa yang kurasakan. Aku bingung.”

Perih.

Sakitnya merasuk ke dalam tulang, lebih menyakitkan dari yang pernah ia bayangkan.

"Kalau begitu, bunuh saja aku!"

Tiba-tiba, Nanon berteriak. Suaranya serak, penuh dengan kepedihan yang tidak bisa lagi ia tahan.

"AKU SUDAH TIDAK PUNYA HARGA DIRI LAGI, AYO BUNUH AKU!"

Ohm tersentak.

Namun alih-alih menghadapi kemarahan atau kesedihan Nanon, ia malah bangkit. Menghindar. Pergi.

"Aku akan pergi. Jangan tunggu aku."

Dan kemudian, ia menghilang dari pandangan, meninggalkan Nanon sendirian dengan kehancurannya.

07.55 AM

Ohm berdiri di depan anak buahnya, suaranya dingin dan tegas.

“Jaga Nanon. Jika terjadi sesuatu padanya, kalian semua akan kubunuh.”

Mereka mengangguk patuh, tidak berani membantah.

Tanpa menoleh lagi, Ohm pergi—meninggalkan mansion, meninggalkan luka yang ia torehkan sendiri.

11.43 PM

Nanon hanya diam, memutar ulang kejadian pagi tadi di kepalanya seperti kaset rusak.

Cemburu.

Ia tidak mau mengakuinya, tapi itu adalah kebenaran yang tidak bisa ia ingkari.

Tapi bagaimana mungkin? Mereka baru bertemu beberapa minggu. Itu tidak masuk akal, bukan?

Namun, tubuhnya tidak bisa berbohong.

Mual tiba-tiba menyerangnya. Rasa pusing yang luar biasa menghantam kepalanya, membuatnya berlari ke kamar mandi.

Ia ingin muntah. Tapi tak ada yang keluar.

Pandangannya mengabur, tubuhnya terasa ringan—lalu semuanya menjadi gelap.

Ketika pelayan menemukannya, Nanon sudah tidak sadarkan diri.

Kepanikan menyebar seperti api liar di mansion. Ketua maid segera menghubungi Ohm, meskipun tangannya gemetar.

“Tuan, Nanon… dia pingsan.”

Tidak ada jawaban.

Sambungan langsung terputus.

Lalu, hanya dalam hitungan menit, Ohm sudah kembali ke mansion, matanya penuh amarah dan kekhawatiran.

“Bagaimana dia bisa sakit, hah?!”

Tidak ada yang berani menjawab.

Ohm melangkah ke kamar Nanon, menemukan tubuhnya yang lemah di ranjang, seorang dokter berdiri di sampingnya.

"Apa yang terjadi padanya?" suara Ohm nyaris bergetar.

Dokter itu—First—menatapnya tajam.

"Apa yang sudah kau lakukan padanya?"

Ohm mengernyit. “Apa maksudmu?”

First menghela napas, lalu mengucapkan sesuatu yang membuat dunia Ohm berhenti berputar.

Pria ini, dia hamil

Dan di saat itu juga, untuk pertama kalinya, Ohm benar-benar kehilangan kata-kata.





To be continued...

ᴛʜᴇ ᴅᴀʀᴋ ɴᴇsᴛ - ᴏʙsᴇssɪᴏɴ ᴀɴᴅ ᴛᴏxɪᴄ ʟᴏᴠᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang