Part 1

220 5 0
                                    

"Kau tak pernah mengatakan apa itu", ucap pria beraroma coklat di sebelahku. Aku berusaha tak acuh kepadanya.

Jingga langit berubah menjadi pekat kecoklatan. Jalanan musim gugur berbaur membingungkan, semembingungkan Ia.

Kami berjalan , melangkahi becek bekas hujan. Aroma hujan yang baru saja turun memercik. Ya, aroma musim gugur bukan aroma yang mudah dilepaskan

Aroma adiktif

Seperti aromanya 

Dua pintu menghandang langkah kami

Aroma itu hilang


Kami bertukar perpisahan, langit menggelap.

—-

Sepatu berganti selop, langkahku berjalan ke belakang rumah. Menyibak jendela yang menyembunyikan kelapangan.


Lihatlah,

Langit malam ini

Barangkali musim gugur memang tak pernah mengecewakan

—-

Selepas berganti pakaian, tubuh kecilku menyelinap turun diantara gemeresik daun.

Daun kecoklatan melepaskan dirinya dari pohon, menyentuh lembut permukan tanah yang basah.

suara gaduh menyusul, begitu mengusik. Ia lagi-lagi datang. lagaknya seperti anak kecil yang selalu rajin bertanya kapan ia diberi kado. Ia menyengir bodoh, manik tajamnya menatapku tanpa dosa.

kami terkekang hening yang panjang, menatap malam yang menyibak keindahannya. Musim gugur ini, ia berjanji kepadaku untuk menuruti segala kosa kata yang terlontar dari mulutku. Sekalipun kosa kata itu tak terdengar masuk akal.

Janji adalah janji.

Persahabatan kami selalu menyimpan banyak janji yang tak tertulis.

"Kau sudah bawa kamera ?", tanyaku.

"Sudah"

Kami melihat langit berkelip. Satu bintang jatuh dari tempatnya.

Bintang jatuh pertama kami di musim gugur.

"Satu janjiku lunas ?", aroma coklatnya menguar, senyum kekanakannya menghiasi rahang tegas itu.

Aku bilang, persahabatan kami selalu menyimpan rahasia diantara jutaan bintang.

"Dibayar, belum lunas. Apa yang kau inginkan, Song Mino ?"

Ia menyeringai, jejak coklatnya tak bisa aku hapus.

"Ikuti kataku besok"

—-

Aku tak tahu bagaimana kisahku dengan lelaki beraroma coklat itu —Song Mino —dimulai.

Mulai darimana kosa kataku mampu menggambarkannya ?

Kami selalu bertemu di bawah langit. karena bagiku, Song Mino adalah langit. Ia memelukku dengan lengan besarnya, seperti langit.

Kami bertemu begitu suara batuk akibat debu dikamarnya memecah konsentrasiku.

Kamar kami bersebrangan, dibatasi sebidang tanah dengan pohon rimbun yang tumbuh di atasnya.

Hampir setiap hari atensiku selalu terpecah olehnya. Mino tak bisa berhenti menjadi bahan kekonyolan, bahan pelengkapku demi secangkir kesegaran.

Kalau kau kira, persahabatan kami dimulai karena kekonyolannya, kau benar.

Karena satu waktu, Mino pernah mengangguku dengan memutar musik hip hop yang seperti piringan rusak. Sedangkan otakku terkuras semalam belajar demi lembar-lembar sempurna untuk dibawa pulang, dia tanpa mengerti setitik penderitaanku saat itu tak berhenti berkelakuan konyol.

dengan segenap perasaanku, aku melempari jendelanya dengan gumpalan kertas. Lalu setelahnya, perang mulut itu terjadi, mengenalkan nama kami. Aku mengenalnya, ternyata, lelaki konyol itu bernama Mino.

—-






[Song Mino fanfiction] : SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang