Hari berlanjut tanpa ada suatu pikiran apapun, weekend di minggu kedua bulan September. Seperti biasa kami berjalan bersama menuju tempat parkir, hanya langkah kaki dan perbincangan orang sekitar yang berlalu lalang di telinga ku, tak ada earphone yang terpasang karena milikku, Gita sita.
"Denger-denger lu suka seseorang, Jar." Pratama memulai sebuah obrolan
"Siapa?" sahut Chika
"Sama Devi, denger-denger aja sih," jawab Pratama, "Jadi dulu lu suka ya, pas gua minta nemenin dia, ada kesempatan," lanjutnya
"Tam, lu mending pergi dulu dah," sahut Gita
"Lah kok jadi elu yang marah?"
"Lu pergi, pergi..!!!"
"Nurut aja Tam, please Tam," Chika menyela
"Udah Git, udah," aku menghadang Gita yang mulai emosi
"Lu suka ya sama Fajar? Sampe segitunya."
"Bisa nggak lu pergi aja?" Gita semakin terpancing emosi
"Gita.. udah.!" Bentakku
Aku memeluk Gita sembari mendorong tubuhnya untuk menjauh dari Pratama, mendekati mobil, aku memberikan kunci mobil pada Chika, meminta nya untuk memandu kami dalam perjalanan pulang kali ini.
Di dalam mobil di tengah hiruk pikuk ramai jalanan, aku yang duduk di belakang bersama Gita hanya bisa menenangkan Gita.
"Brengsek tu anak." Gita masih kesal
"Tenangin diri lu, Git, kasian Fajar," sahut Chika
"Udah Git, please..." ucapku yang tanpa sadar mulai menetes air mata
"Ya gimana mau tenang..."
"Git..." potongku sembari memeluknya dengan derai air mata yang sudah tak bisa ku bendung.
Hening, dingin AC mobil kalah dalam dominasi kesedihan yang sudah menyelimuti ku, bahkan dalam peluk panas emosi terasa.
"Gua cengeng, gua nggak worth it buat dia," ucapku
"Nggak kok, Jar, udah cukup nangisnya," jawab Gita membelai rambutku
Berkeliling kota tanpa sebuah tujuan, sudah tiga jam melewati hari ini didalam mobil, raut muka sedih sudah berganti tawa, gelap malam mulai menyapa sinar jingga, aku mengantar satu persatu manusia yang ada, Chika adalah manusia pertama, berlanjut Flora dan Gita yang terakhir. Usai hari ini aku pulang.
Malam datang di hari yang sama, pukul 20.00 telepon dari Kak Senja mengagetkan ku yang sedang asik mendengarkan lagu.
"Ya, Kak?"
"Lagi apa? Kesini bisa?"
"Bisa Kak, otw."
Mencampakkan jaket yang tergeletak, menyalakan motor tanpa ada harapan yang menyala, aku menapaki jalanan ditemani terangnya pijar lampu, cukup santai dengan iringan musik yang masih berlanjut walau terpotong telepon dari Kak Senja. Sampai di kedai aku berjalan menemui Kak Senja dikamarnya.
"Ada apa, Kak?"
"Dicariin Gita diatas," jawab Kak Senja
"Umm.. Fajar kesana dulu."
"Eh bentar." Kak Senja menarik tanganku, "Udah nggak usah dipikirin, masih banyak hal yang bisa kamu raih," lanjut Kak Senja
"Makasih, Kak."
Aku berjalan menuju meja bar, membuat segelas minuman dan seporsi cemilan, membawanya menemui seseorang yang selalu ada dan dengan ego sempat ingin ku gantikan dengan yang fana.
"Gabut?" ucapku ketika Gita menatapku
"Gabut mata lu," sahut Gita, "Gua kepikiran elu," lanjutnya
"Hahaha."
Duduk disamping Gita, membuka laptop yang ku bawa, membuka tulisan tempo hari, CTRL + A.
"Mau lu apain?"
"Mau gua hapus," jawabku
"Udah nggak usah," ucap Gita, "Mending keluar yuk, cari angkringan atau ke taman kota," ajak Gita
"Yuk."
Menutup laptop, berjalan berdua keluar kedai.
"Lu nggak pake jaket?"
"Nggak, haha," jawabku tertawa
"Pake ni, untung gua bawa cadangan di jok motor."
Kembali menapaki aspal jalan, kali ini pijar lampu tak sendiri menemaniku, rasa pada tulisan tempo hari yang ku ceritakan kini terjadi dalam sebenarnya, dekap hangat, beban senderan, dan senyum seseorang kini bisa ku nikmati untuk malam ini, aku menghabiskan waktu bersama Gita dengan ramainya hiruk pikuk taman kota, kali ini aku berani berspekulasi tentang rumah.... ya, aku kali ini pulang.........
song for closing...
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA PARALEL
Teen FictionSebuah kisah tentang remaja yang menyukai seorang perempuan, sebuah definisi cinta pada pandangan pertama, perempuan yang ia lihat pertama kali di hari pertama masuk kampus, jadi apakah ia akan mendapatkannya??