3. Masuk Sekolah

3 4 0
                                    


"Zul, bangun Zul" kata Tante Indri.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi.

"Masih kepagian, Tante" kataku.

"Kita harus mempersiapkan dagangan, belum lagi masaknya" kata Tante Indri.

Ya sudah, aku tidak punya pilihan lain. Aku segera mandi dan beres-beres karena Tante Indri ingin membeli kue-kuenya ke produsen kue langsung. Sebenarnya tidak tiap hari ini akan jadi kebiasaanku. Yang jadi kebiasaanku sekarang adalah ibadah Subuh, dan selanjutnya sesuai waktu. Aku bukan orang yang terlalu religious, aku biasa ngelem dengan temanku dulu, dan minum oplosan kalau lagi dapat duit banyak. Setiap aku niat mau ibadah, rasanya terlalu malu juga karena dosaku juga sudah banyak. Tapi setidaknya aku tidak mencuri dan munafik.

Yang aku masih tidak habis pikir mengapa mereka menjahatiku setelah sekian lama berteman? Apa karena keterdesakan? Rasanya ingin marah, namun aku hanya lelah memikirkannya. Pun, aku juga terlalu malas melaporkannnya. Maksudku, buat apa kalau keluar uang lebih banyak lagi? Biarlah sekarang, angin dini hari ini kuterjang demi kehidupan baruku. Omong-omong, Tante Indri lama sekali belanjanya.

"Zul, jangan bengong" Tanteku memecah lamunanku yang menunggunya belanja.

Rupanya sudah banyak. Tante kuat juga, menenteng barang belanjaan sebanyak itu di kedua tangannya. Ya sudah deh.

"Zul, tertarik buat sekolah?" Tanya Tante.

"Asal ga ketemu bapak aja" kataku.

"Yah, emangnya bapak kamu mau sekolah buat apa? Tapi kamu mau, kan? Sekalian biar Rani punya temen"

"Ya udah deh, terserah Tante aja"

Jadilah aku berada di sekolah SMA 420, sekolah yang sama dengan Rani. Jadi anak baru ternyata tidak enak juga. Untung saja, tubuhku belum dirajah makanya pihak sekolah mau menerimaku, meski memandangku remeh. Tapi memang telinga bekas tindik tidak bisa dibohongi. Heran saja mereka memandangku remeh, padahal tindik dan tato tidak mempengaruhi proses belajar. Aku juga tidak pernah menodong!

Setelah masuk ke Kelas X 2 IPS, sang guru mengatakan "Ya, perkenalkan namamu".

"Nama saya Zulkifli Hadi, panggil aja Zul. Salam kenal" kataku datar.

Beberapa anak disini menatapku seperti barang baru. Mereka penasaran sebenarnya aku ini makhluk apa, dari planet mana, bahkan segel plastic yang masih membungkusnya dimana. Di kelas ini tidak ada Rani, dan itu berarti aku tidak sekelas dengannya. Namun, ada sorot mata yang membuatku mengenali saat-saat itu. Diapun juga menoleh ke arahku terkejut. Oh iya, dia memakai hijab yang paling panjang daripada temanku yang lain. Kira-kira sampai sepinggang lah.

"Eh?" aku buru-buru bersikap formal.

Rupanya, perempuan cantik itu bersekolah disini? Tidak beda antara di rumah maupun di sekolahnya. Sama-sama panjang dan tertutup. Potret perempuan yang alim sekali. Sebenarnya aku tidak berani dekat-dekat. Tapi, aku senang saja dia berada di kelas yang sama denganku. Ah, kurasa aku mulai percaya bahwa hidup tak seburuk itu.

BERSAMBUNG ...

Tabung KacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang