Aku

3 0 0
                                    

Usiaku 29 tahun saat ini, seorang ibu satu anak yang sangat menggemaskan dan cerdas, didampingi seorang suami penyayang dan pekerja keras. Kami hidup berbahagia layaknya keluarga kecil lainnya. Kami menikah dengan tidak mengeluarkan biaya besar seperti orang- orang pada umumnya di sini, sehingga walaupun pas-pasan kami sudah memiliki mobil dan rumah di awal-awal pernikahan. It's perfect! dan sebuah prestasi yang wajib disyukuri.

Dalam perjalanan rumah tangga yang baru seumur jagung ini, aku tahu, suamiku adalah orang terdekat yang paling bisa kuandalkan ketika mengalami konflik batin yang bersinggungan dengan masa lalu. Tapi belakangan, aku merasa takut akan semakin membebani pasanganku dengan emosi-emosi masa lalu yang terkadang meluap secara tiba-tiba, lalu dia pun dengan paniknya meninggalkan kewajibannya di tempat lain (kantor). Sungguh aku terharu padanya, sekaligus miris terhadap diriku. Angka yang banyak pada umurku terasa sia-sia saja karena selalu terjebak pada "perasaanku" sendiri. 

"Sayang, kayanya aku stres deh..."

"Yang, aku koq tega sampai marahin anak kita ya" yang waktu itu belum genap satu tahun...

Ya... itu aku yang selalu tiba-tiba mengirim pesan singkat. Lalu suamiku akan pulang ke rumah, atau saat pulang kerja dia akan memberikan ku pelukan yang menenangkan. Nyaman. Bersyukur. Bahagia. tapi di saat yang sama aku takut dengan bayang-bayang di kepalaku, aku takut dengan kebosanannya pada diriku sehingga lama-kelamaan akan ada jarak di antara kita. 

Ya, ketakutanku terkadang terasa begitu nyata. Kepalaku terlalu cepat membayangkan sesuatu, menerjemahkannya seolah hal itu benar-benar akan terjadi. Sehingga aku takut melangkah. takut akan masa depan, takut banyak hal. Bahkan baru-baru ini aku takut membawa anakku ke dokter karena membayangkan dokter dan pasien lainnya mencemoohku: Masa anak sakit gini aja di bawa ke dokter??!

Entah apakah benar-benar terjadi sesuatu padaku, atau hanya perasaanku saja. Aku berharap banyak dengan menulis membuatku dapat melepaskan semua ketakutan dalam diriku, di kepalaku. Seperti ketika menulis bagian ini, suara lain di kepalaku seolah meneriakkan sesuatu. Mungkinkah itu adalah sisi malaikatku? 

Katanya: kalau teriakan itu ada di kepala, berarti aku bisa mempercayai hatiku? Katakan pada dirimu, itu hanya berasal dari amigdala di otakmu. Tidak benar-benar terjadi. 

Begitulah, sehingga aku merasa, menuliskan luka-lukaku akan menjadi terapi bagi diriku sekarang untuk masa depan. Aku ingin bahagia, dan dengan tulus mencintai dan menyayangi. Menjadi bahagia, dengan menerima diriku apa adanya. 

Untuk DIriku di Masa LaluWhere stories live. Discover now