Sebelum menulis bagian ini, aku membuka blog yang sudah kuisi lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Ku cari-cari tulisan di tahun 2018-2019. Rupanya hanya tulisan-tulisan penuh rasa syukur, dan bahagia, karena telah berhasil "melewati" tahun-tahun penuh pergolakan emosi itu. Tapi ternyata melewatinya tidak semanis kata demi kata yang kutuliskan dalam blog. Sampah emosi masih mengotori diriku. Haruskah kubuang di sini saja sampah itu?
Samar-samar batas antara membuka aib dan "membuang sampah" dalam diriku, hal itu yang membuatku takut untuk terbuka. Ya Rabb, aku memohon ampun. Apakah membuangnya dalam tulisan ini benar-benar dapat melepaskan semua traumaku?
Egoku berkata: Mungkin ini adalah cara untuk melepaskan semuanya. Cara untuk mendapat perhatiankah? Karena di saat-saat tertentu aku merasa amat sendiri (sisi malaikatku bilang: atau aku yang penyendiri?) Aku ingin sosok ibu, tapi ibuku sudah tidak seperti dulu lagi. Aku ingin sosok ayah, tapi ayahku belum lama tiada. Suami? Sedang sibuk dengan urusan kantor. Saudara? Akan berakhir dengan: kamu kurang ibadah. Teman? Entahlah, mungkin aku memang penyendiri.
Setiap orang punya masalah, ada yang berhasil melaluinya. Ada yang, sayang sekali, terkurung dalam permasalahannya sendiri. Ada pula yang satu kakinya melangkah keluar, dan satunya lagi masih terjerat dengan masalahnya.
Aku di golongan yang ketiga.
Menjalani kehidupan normal dalam "ketidaknormalan"ku. Aku selalu dilema, antara apakah aku sedang baik-baik saja atau tidak. Hanya perasaanku saja.
Kubuat simpel saja, aku kecewa, lalu mengecewakan orang yang mengecewakanku, dan aku dijadikan alasan atas kekecewaannya untuk pergi.