Bulan Mei 2018. Aku resmi menetap di kampung halaman. Cita-citaku amat mulia: membantu orang tua membiayai adik-adikku, meski dengan jalanku sendiri, yaitu membuka usaha. Aku sejak dulu pandai menghasilkan uang walau setidaknya hanya untuk diriku sendiri. Kali ini aku mencoba berusaha lebih untuk mereka.
Menyenangkan, karena untuk pertama kalinya aku tinggal menetap bersama keluargaku setelah beberapa tahun merantau sejak dari SMA lalu kuliah dan kerja sebentar diperantauan. Apa yang kurasakan? Bahagia. Itu saja.
Di tahun ini pula, aku menemukan seseorang yang sekarang adalah suamiku. "Pertemuan" yang luar biasa, di kala aku sedang pasrah-pasrahnya telah menanti jodoh sekian lama. Apa yang kurasakan? Bahagia.
Di tahun ini pula, aku menghadiahkan kepada orang tuaku: diterima sebagai ASN.
Ini adalah tahun terbaik untukku, seharusnya. Memang hidup itu seperti roda, yang terus berputar dari atas ke bawah tapi bagiku ini terlalu cepat. Sehingga aku terpental jauh dari roda, berusaha menarik diri dari kehidupan. Aku seperti tak punya alasan untuk bangun tidur. Aku ingin tidur terus, hidup dalam mimpi. Ku sebut saja ini: roda gila!
Aku ingin bangun pagi dengan penuh semangat tapi tidak bisa. Tubuhku lemas. Ku baca-baca lagi buku untuk mencari motivasi, rupanya mesinnya sedang rusak. Hatiku tidak tergerak. Bahkan sesekali aku "ngambeg" dengan Tuhan. Ya Rabb. Aku memohon ampun.
Aku harus keluar untuk melanjutkan tugasku, lalu pulang ke rumah melanjutkan tangisku. Aku terlalu meratapi atau emosi? entah.
Ini semacam kronologi, menceritakannya membuat energiku terhisap. Sehingga aku perlu meneguk segelas air. Merenung sebentar, sebelum menuliskan kalimat selanjutnya. Aku berlindung padaMU.
Entah dibulan keberapa, waktu itu ibu dan bapak sudah beberapa bulan tidak saling menegur dan bicara. Suatu hari, ibuku datang kepadaku meminta bantuan untuk membenarkan Facebooknya yang eror. Biar lebih mudah, aku mengambil tab ibu tapi ibu malah kaget dan was-was. Apalagi saat kutanya passkey tab nya, ibu langsung mengambil tab untuk membuka tabnya tanpa mau dilihat olehku. Dari situ aku mulai curiga: ada sesuatu yang disembunyikan. Karena curiga, langsung kuhubungi kakakku yang tinggal di luar kota. tapi katanya: "aahh,,, perasaan kamu aja".
Sejujurnya, sejak awal ibuku mau buat akun facebook, aku orang yang cukup keras menantang, karena aku tau kondisi rumah tangga bapak-ibu yang kadang adem kadang anyep, dari pengalaman orang ke orang yang diceritakan kepadaku, mudah sekali "setan" masuk lewat aplikasi biru ini. Tapi kata kakakku : "Alaah,, bilang saja kamu takut diawasi ibu"
Hari-hariku disibukkan dengan bisnis yang baru saja kujalankan. Aku hampir melupakan kejadian itu. Pelan-pelan sikap ibu semakin berubah, semakin cuek pada rumah, bahkan cuek terhadap adik bungsuku yang masih duduk di kelas 4 SD.
YOU ARE READING
Untuk DIriku di Masa Lalu
SpirituálníMaafkan semua luka berbahagialah di masa depan