Ini pasti hanya mimpi. Siapapun tolong yakinkan aku bahwa aku sedang bermimpi. Aku tidak pernah menduga kalau hal seperti ini akan terjadi padaku, maksudku tidak secepat ini. Sampai dua jam yang lalu aku berpikir ini akan menjadi hari besar yang membahagiakan—setidaknya untuk sahabatku—tetapi kenyataan berkata yang sebaliknya. Aku akan menikah.
Bukan besok. Bukan pekan depan. Bukan juga tahun depan. Melainkan sekarang juga.
Semuanya begitu tiba-tiba dan di luar rencana. Padahal seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya bukan aku yang berdiri di sini.
Aku memang bukan salah satu dari mereka yang tidak percaya pada komitmen, bahkan aku percaya pada cinta sejati. Tapi ini delapan tahun lebih cepat dari yang kurencanakan. Aku selalu membayangkan akan melakukannya di usia 30-an dengan seorang pria yang sudah kukenal bertahun-tahun hingga aku hafal dengan seluruh preferensi musiknya, film favoritnya, buku yang ia baca, makanan yang ia sukai dan ia benci, sampai kebiasaannya yang tidak banyak diketahui oleh orang-orang selain diriku. Apa yang sudah aku lakukan?
Saat ini aku berdiri didampingi oleh Mr. Wilson yang akan mengantarku menuju altar, yang tepatnya berada di balik pintu ganda dan tinggi menjulang yang ada di hadapanku. Demi apapun...
Jangankan si mempelai pria, aku bahkan tidak mengenal Mr. Wilson.
"Kau siap?" tanyanya, mempererat lengannya yang melingkar di tanganku. Alih-alih menjawabnya, aku mengangguk untuk meyakinkan diriku bahwa aku tidak akan benar-benar menikah. Pria bernama Harry itu pasti akan langsung membatalkan pernikahan ini begitu dia melihat wajahku di balik tudung. Tapi bagaimana jika prosesi itu dilakukan setelah pemberkatan? Apa aku harus menghentikannya? Atau aku lari saja sebelum itu terjadi?
Musik tiba-tiba saja menggelegar dari dalam gereja. Aku mendongak, menatap pada pahatan patung Tuhan Yesus yang ada di atasnya, diam-diam aku merutuki diriku sendiri dan meminta maaf pada-Nya atas kebohongan ini. Aku menyesalinya. Seharusnya aku tidak mengiyakan permintaan Caroline begitu saja. Apa yang dia pikirkan? Apa yang aku pikirkan?! Bisa-bisanya aku setuju dengan rencananya. Di kepalaku aku membayangkan bagaimana reaksi mereka saat mereka tahu. Memang ini bukan sebuah kejahatan, karena aku hanya menolong seorang teman, tapi mungkin mereka akan mengenalku sebagai penipu mulai dari sekarang.
Pintu dibuka, alunan musik pernikahan menggema lebih keras dan megah sontak membuat ini semua terasa semakin nyata. Ya Tuhan, ampuni aku... Ampuni aku... Ampuni aku.
Mr. Wilson melangkahkan kakinya, menggiringku berjalan di sampingnya. Aku melihat puluhan pasang mata para tamu yang menatap ke arahku. Entah apakah ini hanya perasaanku saja atau memang tatapan mereka yang terpaku padaku seolah berkata mata mereka dapat melihat masuk menembus tudung tebal yang kukenakan. Kemudian mataku beralih pada sesosok pria yang menungguku di ujung altar. Itu Harry. Aku memang belum pernah bertemu dengannya tapi aku tahu itu dia. Senyumnya merekah, tubuhnya menegap dengan sigap, dan tatapannya berbinar dan membara seakan-akan ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi dirinya. Bayangkan kalau dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku langsung mengencang di lengan Mr. Wilson secara naluriah, diliputi oleh perasaan kalut dan khawatir. Bahkan sepertinya aku bisa menghancurkan buket bunga yang kugenggam di tangan yang satunya.
Merasakan reaksiku yang tiba-tiba, dia mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Tidak perlu gugup, Nak. Kau akan baik-baik saja. Aku tidak akan membiarkanmu tersandung." Bisiknya mencoba menenangkan, yang mana itu tidak menolongku sama sekali. Aku bukan gugup. Aku takut.
Alunan musik pernikahan yang familier terasa terlalu lambat seiring dengan langkahku yang kian berat. Kepalaku mulai terasa pusing, jantungku berdegup kencang, dan keringat mengalir dari punggungku yang terbuka. Gaun ini bahkan terasa begitu sesak. Ya ampun, kebodohan macam apa ini. Aku akan sangat teramat menyesalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELOPE
General FictionAlunan musik pernikahan dimainkan. Seluruh tamu undangan sontak berdiri menyambut mempelai wanita yang melangkahkan kakinya di atas altar. Suasana megah dan sakral menjadi saksi dua sejoli yang sebentar lagi akan disatukan atas nama cinta. Di ujung...