Setibanya di pesawat, kami langsung menempati tempat duduk masing-masing. Harry berada di sebelahku dan dia bersikukuh ingin duduk di pinggir lorong karena rupanya dia takut pada ketinggian.
"Kau baik-baik saja?"
"Ya." Katanya, dengan keringat dingin mengucur di keningnya. Kemudian dia mengambil sebotol obat penenang yang dia taruh di dalam jasnya lalu meminumnya sebutir. "Selama aku memiliki ini, aku akan baik-baik saja."
Tentu, karena itu akan membuatnya tertidur dalam sekejap.
"Ngomong-ngomong, aku minta maaf untuk semuanya. Aku tahu mungkin aku sedikit terlambat untuk menyampaikannya. Seharusnya aku tidak setuju dengan permintaan Carol saat itu."
"Sudahlah. Yang sudah terjadi biarkan saja terjadi. Aku paham kau hanya ingin membantu seorang teman. Aku yang justru meminta maaf karena telah menaruhmu dalam posisi seperti ini... Sedikit."
Aku tersenyum simpul, menghargai permintaan maafnya karena sifatnya yang sudah sangat menyebalkan sejak hari pertama kami bertemu. Namun, senyumku berubah miris dalam sekejap ketika mengingat semuanya yang telah terjadi. "Peristiwa yang tidak biasa terjadi pada orang-orang yang tidak biasa."
Harry mengangkat satu alisnya. "Apa itu adalah kata mutiara?"
"Bukan, itu adalah kata-kataku."
"Jadi, siapa sebenarnya dirimu?"
"Maksudmu?"
"Secara tidak langsung kau baru saja berkata kalau kau bukan orang biasa. Jadi, siapa dirimu, Kate Davis?" kuperhatikan Harry mulai tenang. Kupikir obrolan kami telah berhasil mengalihkan perhatiannya. Itu bagus.
"Aku hanya seorang pembuat roti, percayalah. Saat aku berkata 'orang-orang yang tidak biasa', yang kumaksud itu adalah kau dan Carol."
"Bisa kau jelaskan?"
"Kau dan Carol adalah dua orang gila."
Harry tertohok dengan tuduhanku yang blak-blakan itu. "Apa yang aku lakukan sekarang adalah hal yang gila, tapi memang selalu ada kegilaan dalam cinta, dan selalu ada alasan dalam kegilaan."
"Itu adalah kata-katamu?"
"Bukan, itu dari Friedrich Nietzsche."
"Kau juga membaca filsafat jerman?"
"Immanuel Kant, Max Weber, Rudolf Otto, Karl Marx, sebutkan siapa saja aku tahu mereka semua."
"Wow." Aku tidak menduga orang seperti Harry menyukai hal seperti itu. Maksudku, dia terlihat seperti tong kosong nyaring bunyinya. "Arthur Schopenhauer?"
"Tidak ada yang bisa melihat diri mereka sendiri. Setiap orang melihat sebanyak dirinya di pihak lain." ucapnya, mengutip kata-kata Schopenhauer.
Aku mengangguk, cukup terkesima dengan pengetahuannya. Tidak lama, turbulence terjadi ketika kami naik semakin tinggi. Harry mengencangkan pegangan tangannya dengan gelisah.
"Di mana kau bertemu Carol pertama kali?" lanjutku, berusaha membuatnya tetap teralihkan pada pembicaraan kami. Sungguh kasihan melihatnya seperti ini, meski dia sebenarnya tidak patut untuk dikasihani.
"Di lobby Wilson Corporation, pukul satu siang lewat 15 menit. Ayahnya adalah investorku, kami memiliki janji makan siang setelah rapat berlangsung. Aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama." Dia meringis ketakutan, masih merasakan turbulence yang semakin keras.
Tapi kemudian aku tidak bisa menahan gelak tawaku yang benar-benar tidak ku antisipasi. Harry menoleh dengan raut wajah tersinggung.
"Ada apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ELOPE
General FictionAlunan musik pernikahan dimainkan. Seluruh tamu undangan sontak berdiri menyambut mempelai wanita yang melangkahkan kakinya di atas altar. Suasana megah dan sakral menjadi saksi dua sejoli yang sebentar lagi akan disatukan atas nama cinta. Di ujung...