Bab 1

819 86 14
                                    

Freen menunduk dalam dengan tangan terkepal dibawah meja. Jantungnya berdetak kencang dan keringat dingin menetes dari keningnya.

"Anak sampah! Kamu tau? Kamu benar-benar mencoreng harga diri keluarga Sarocha! Lihat ini! Nilai UH kimia 97? Bodoh!"

Akara merobek-robek kertas ulangan kimia Freen, lantas melemparkannya ke wajah Freen.

"Papa tidak percaya kamu kalah dengan adikmu sendiri, memalukan!" Akara mendekati meja makan. Tangannya menyambar gelas dan dilemparkan ke kepala anaknya.

Prang!

Seketika gelas itu hancur bersamaan dengan darah yang mengucur dari kepala Freen.

"Itu adalah hukuman untuk anak tidak tau diri sepertimu," ungkapan Akara begitu menusuk membuat Freen harus mati-matian menahan tangis.

"Setelah semua ini, Papa jadi menyesal punya anak sepertimu. Tidak bisa dibanggakan. Tidak seperti Azalea yang bisa segala-galanya."

Freen yang sedari tadi menunduk mulai mengangkat wajahnya.

"Kamu tau adikmu itu? Dia selalu dapat nilai 100. Dia selalu juara disetiap olimpiade, dia juga lebih rajin dan tertata. Tidak sepertimu. Menyusahkan!"

Freen tersinggung. Ia benar-benar mengangkat kepalanya sekarang.

"Pa, Papa kenapa sih? Kenapa selalu banding-bandingin Freen sama Azalea? Azalea ya Azalea, Freen ya Freen. Kita berbeda Pa."

"Kamu berani bantah Papa?" wajah Akara merah padam. Dibantah adalah sesuatu yang ia benci.

Freen menggeleng. "Bukannya Freen bantah, cuma Freen capek kalau harus dibandingin kayak gitu. Apa-apa Azalea, apa-apa Azalea. Padahal Freen juga selalu berusaha, Pa. Berusaha agar bisa dibanggain Papa. Gak cuma Azalea."

Akara diam. Ini pertama kali ia mendengar anaknya itu mengeluh.

Freen menelan ludahnya yang terasa pahit. "Freen sebenernya juga pengen dibanggain Papa. Gak cuma ditekan biar dapet nilai 100 terus. Papa selama ini cuma nyuruh tanpa ngasih contoh. Papa cuma bisa bentak Freen, nampar Freen, dan nyakitin Freen aja. Sedangkan Azalea? Azalea pernah dapat nilai 20, dan Papa biarin aja? Sedangkan Freen yang dapet 97 kenapa langsung dipukul? Dilempar gelas juga."

"Karena Azalea anak Papa," sahut Akara dingin. Suaranya benar-benar terdengar tidak peduli.

"Terus aku apa, Pa? Aku bukan anak Papa juga?" Freen bertanya penuh ketidakpercayaan.

Akara tidak menjawab pertanyaan itu, ia menegakkan tubuhnya. "Pergi kekamarmu. Kerjakan semua soal kimia yang sudah Papa siapkan. Jangan turun untuk makan malam jika belum selesai," pungkasnya meninggalkan Freen yang tersenyum miris.

Setelah kepergian Papanya, Freen beranjak, sedikit memegang kepalnya yang pusing. Darah segar masih mengucur dari sana, menetes dilantai menyebabkan bercak merah.

Gadis itu berjalan pelan menaiki anak tangga. Mencoba mempertahankan keseimbangannya.

Rasa sakit di fisiknya tidak terlalu terasa. Kalah dengan rasa sakit dihatinya. Bagaimana bisa seorang Ayah menjatuhkan mental anaknya? Sekarang Freen tidak percaya dengan kalimat 'Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya'.

"Cinta pertama?" Freen mendesis geli.

Hingga sampailah ia dikamar. Secara perlahan ia membuka knop pintu. Pandangan pertamanya jatuh ke tumpukan kertas yang ada dimeja belajarnya.

"Sebanyak itu harus selesai semalam?" gumamnya tak percaya. Ia yakin, Albert Einstein pun ngerjain itu butuh sehari penuh, lah ini? Semalam? Wahh, gilak sih.

DEAR FTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang