Rumah yang diinginkan Suzette berada di La Push, cukup dekat dengan pantai pertama. Miriam tenang-tenang saja karena rumah baru mereka tak memiliki anak tangga sebanyak rumah Cullen dan lebih sedikit suasana dipanggang di rumah kaca. La Push adalah tempat reservasi penduduk Amerika asli yang tak bisa dicampuri orang asing. Mereka beruntung memiliki kakek buyut dari garis ibu, Quil Ateara II. Tetapi tidak ada yang tau kalau mereka juga memiliki garis keturunan dari pihak ayah yang berasal dari sana. Namanya Asenath Black, kakak Ephraim Black. Miriam berhasil mengetahuinya setelah mendapat kalung sebagai hadiah ulang tahun ketujuhnya dari sang ayah. Ayahnya menemukan kalung tersebut saat membereskan loteng mereka yang penuh barang lama. Bersama kalung itu terdapat foto kuning usang di mana terdapat seorang gadis jelita yang mengenakan kalung yang sama.
(Kalung Miriam)
"Truk barang akan datang nanti siang. Kalian bisa memilih kamar sekarang," kata Joseph sambil memakirkan mobil.
"Biarkan aku yang pertama memilih!" pinta Suzette yang memilih semobil dengan Joseph dan Magdalena.
Alasan Suzette tidak satu mobil dengan ketiga saudaranya sangat sederhana dan dapat diterima akal sehat. Miriam sedang sakit dan Miriam yang sakit sangat amat disarankan untuk tidak didekati. David dan Noah duduk di kursi depan dengan Miriam menempati kursi belakang dalam posisi bersedekap. Di pelukannya terdapat boneka sloth raksasa berwarna coklat susu yang tidak berbahaya pada pandangan pertama. Wajahnya muram seperti wanita tua yang ditinggal mati keluarganya. Pemilik bonekalah yang berbahaya. Hanya tidak perlu mengusiknya dan hidup akan senyaman kemarin.
"Kita sudah sampai," kata Noah yang mendapat tugas menyetir mobil. Ia memakirkan mobil di belakang mobil ayah mereka.
David menatap Miriam cemas. Perilaku Miriam saat sakit sebenarnya cukup normal andai saja aura yang dikeluarkan Miriam tidak membuat mereka seperti berada di pemakaman tua dengan banyak mayat yang baru saja dikuburkan.
"Mira, ayo turun. Saat ini Suzette pasti sudah memilih kamarnya. Aku ingin tau apakah Noah akan merampok Suzette lagi seperti di Kanada dua tahun lalu."
Miriam hanya membalas ocehan langka David dengan tatapan suram tanpa kesenangan di dalam binar Miriam yang semakin redup setiap kali Miriam sakit.
David menghela napas, sepertinya Miriam harus dibujuk dengan kekerasan.
"Noah."
"Dipahami."
David dan Noah membuka pintu mobil dalam satu tempo. Seperti aksi dalam film laga yang layak dinikmati. keduanya membuka pintu belakang dan memaksa Miriam untuk keluar dari mobil. David menarik tangan Miriam dan Noah menarik kaki Miriam yang berakhir dengan ketiganya terjebak dimobil karena salah strategi.
"Mn. Aho, baka ni-chan," gumam Miriam.
Bukannya kesal, David dan Noah malah tersenyum. Miriam hanya bisa mengerutkan kening atas keusilan kedua kakak laki-lakinya.
"Akhirnya Miriam kembali normal," kata Noah.
"Hm," jawab David sambil mengangguk.
"Sekarang turun dan pilih kamarmu, Mira."
David membujuk adik kecilnya dengan tepukan dibahu yang mengisyaratkan dukungan penuh untuk adik bungsunya.
"Hn."
"Ayo," bujuk Noah sambil mengapit bahu Miriam.
"En."
"Mana senyumnya?" goda Noah.
"Hisss...." desis Miriam saat menampilkan seringai serigala.
Noah tertawa melihat wajah menggemaskan Mira. Matahari di belakang kepalanya menambah pesona yang tidak mungkin bisa ditolak wanita mana pun.
"Bukan 'Hiss' tapi 'Hrrr'. Mira coba 'Hrr', ayo,"
"Graaawww... ." geram Miriam dengan seringai penjahat abad pertengahan yang ia contoh dari teater yang pernah ia tonton bersama sang ayah.
"Itu dia! Penjahat kecilku tersayang," kata Noah bangga.
"Jangan mengajari Mira hal-hal aneh, Noah. Aku tak akan bertanggung jawab jika penjahat didikanmu ini menikammu dari belakang," ejek David.
"KALIAN TERLAMBAT!!"
David dan Noah minus Miriam menoleh ke sumber suara. Terlihat Suzette tengah berkacak pinggang di depan pintu rumah pilihannya.
"Oh, lihat gadis bunga sudah menyambut, betapa perhatiaannya adikku ini."
"Jangan menyanjungnya seperti itu, Dave. Kita tidak tau apa yang akan terjadi jika rambutnya berubah warna menjadi putih."
"Kau tak bisa melarangku melakukannya, Noah. Suzu kecil kita sangat manis saat wajahnya memerah seperti pantat baboon."
Suzette membanting pintu, menutup akses ke dalam rumah. Dengan kejam meninggalkan ketiga saudara dan saudarinya di luar rumah yang liar di kelilingi hutan.
"Aku akan melihat-lihat kamar," kata Miriam lesu seperti vampir di siang bolong yang baru saja mencicipi berton-ton darah segar. Jelas suasana hatinya telah membaik.
"Kami akan melihat halaman di sekitar rumah," kata Noah. Ia pergi bersama David dalam rangkulan kakak laki-lakinya.
Miriam menatap hutan di belakang rumah barunya. Sepertinya akan menyenangkan untuk tahun mendatang. Ia tidak sabar untuk segera menjelajahi hutan, mungkin ia akan menemukan hewan lucu berdarah panas untuk melegakan rasa penasarannya. Gadis itu memalingkan wajahnya ke anak tangga yang menghubungkan halaman tanah dengan teras rumah. Rumah kayu ini terlihat sangat sederhana dan murah, tapi harganya sangat mahal. Jika bukan kareka kematian pemilik rumah di tangan hewan buas, harganya akan jauh lebih mahal. Tentu saja dirinya menemukan bahwa ada kelonggaran dalam aturan suku pedalaman ini. Mereka tidak akan menerima orang asing masuk ke wilayah teritori mereka. Jika bukan karena darah leluhur anjing, mungkin saat ini mereka akan berada di Forks dan bukannya La Push. Diam-diam Miriam menyayangkan rumah pilihan Suzette.
"Miriam, hanya kau yang berani membuatku menaiki anak tangga untukmu."
Miriam berbicara pada dirinya sendiri untuk sementara waktu. Ia berhasil melangkahkan kakinya menaiki anak tangga satu persatu dengan sangan anggun dan elegan. Tangannya memeluk boneka seolah benda itu lebih agung dari pedang Raja Arthur yang bahkan tidak bisa diangkat dari batu. Cara berjalannya seperti ratu yang naik tahta, berbeda dengan sebelumnya yang selalu berjalan dengan sikap malas.
Miriam menyentuh gagang pintu yang terbuat dari tembaga. Auranya yang memesona meredup, mengembalikan aura malas yang mulai mendominasi tubuh.
"Penyewa gelap harap sadar diri," cibir Miriam sambil membuka pintu yang akan membawanya memasuki rumah baru.
Rumah satu tingkat itu sangat sederhana. Setiap hal, baik yang terjangkau mata atau tidak, terbuat dari kayu dengan kualitas rata-rata. Ini bukan rumah, bahkan pondok pun lebih indah.
"Kau sudah melihat kamarmu, Mira?" tanya Magdalena.
"Belum," jawab Miriam sambil melihat-lihat dinding yang penuh dengan dekorasi kayu.
Magdalena menyentuh bahu Miriam. Ibu empat anak itu menatap putri bungsu dengan empati. Melihat putrinya mau repot-repot melihat ruang tamu baru mereka membuatnya berpikir bahwa putrinya senang berada di sini.
"Apa ada kamar yang memiliki pemandangan hutan?" tanya Miriam.
"Ada, tepat di sebelah kamar Suzu," kata Magdalena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vampir dan Serigala (Twilight)
FanfictionMiriam Summer memilih Forks atas dasar "asal-asalan" saja. Tapi siapa yang menyangka pilihannya malah mengundang masalah ke dalam kehidupannya. Mana cowoknya hot pot semua T^T ~~ Allert: Pairing kacau balau, jika tak sama berarti udah berubah jodohn...