| | P R O L O G ||

293 86 31
                                    

Cerita ini aku tulis untuk mereka yang sedang melangkah ragu.

Untuk mereka yang masih terjebak di masa lalu.

Dan untuk mereka yang sedang merayakan sebuah kehilangan.

**
Add dulu cerita ini ke reading list, or perpustakaan kalian, makasih💙

Be happy guys! Selamat membaca, semoga suka, Aamiin.

**

"Jadi, seperti ini akhirnya?" Zara menatap nanar laki-laki di hadapannya, ia menggigit bibir bawahnya bermaksud menahan isak tangis yang sudah ia coba kendalikan sejak percakapannya dengan laki-laki itu mengalir.

Ia berdehem sejenak mencoba menetralisir kekacauan terhadap dirinya lalu kembali membuka suara, "kita beneran selesai, lang?" tanya perempuan itu memastikan bahwa mereka tidak akan benar-benar selesai.

"Iya, Ra, maaf,  I'am done. Gue nggak mau nyakitin lo terlalu jauh lagi."

"Semesta gue sedang berantakan, Ra. Rumah gue rusak," jelas laki-laki itu. Matanya memanas. Terdengar penekanan di beberapa kata yang ia ucapkan.

"Gue nggak mau lo tinggal terlalu lama di rumah yang rusak, gue nggak pantas untuk perempuan sebaik lo, gue brengsek." Air matanya jatuh, nyaris membasahi pipi laki-laki itu dengan sempurna.

Zara mendekat, dihapusnya air mata laki-laki itu dengan lembut.
Ini bukan kali pertamanya Langit menangis di hadapan Zara.

Bercampur aduk seketika. Zara benar-benar masih tidak percaya dengan apa yang Langit katakan.

"Jadi, solusi paling tepat buat kita cuman perpisahan." Suara Langit terdengar serak saat itu, menahan sakit yang tidak karuan menembus jatungnya.

"Solusinya nggak bisa diubah, lang?" koreksi Zara.

"Jangan selesai," suara Zara bergetar saat kalimat itu keluar dari mulutnya. "Gue pasti akan bantu perbaiki rumah lo yang rusak, gue juga akan bantu tata ulang semesta lo yang berantakan." Ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.

Langit menatap Zara lekat, "Gue nggak mau lo terluka karena gue memaksakan lo untuk tetap tinggal." Terang langit.
Kini Zara memeluknya dengan erat. Erat sekali, seolah memberikan kekuatan atas semua sakit yang sejak kemarin mengenai Langit.

"Maaf, Ra, gue selalu buat lo sedih." Ujar Langit. "Maaf juga karena minta selesai, saat lo masih cinta."

"Gue berharap, di masa depan Tuhan pertemukan kita lagi dalam versi terbaik dari diri masing-masing, tapi gue minta lo jangan nunggu masa itu, karena mungkin nanti lo akan bertemu dengan banyak orang yang lebih baik dari pada gue."  Kata Langit yang berdiri di depan Zara.

"Tapi—" suara Zara tertahan karena laki-laki yang didepannya menyelanya.

"Ra, tentang lo adalah cerita yang nggak pernah mau gue akhiri, tentang lo mungkin akan menjadi cerita yang tidak akan bisa digantikan dengan cerita manapun, dan lo adalah orang paling spesial yang hadir dalam hidup gue,"

"Lo adalah hal yang menyenangkan dalam cerita gue." Pungkasnya.

"Tapi gue–" langit menjeda ucapannya.

"–gue bukan hal yang menyenangkan dalam cerita lo dan lo harus mengakhirinya."

"Selamat selesai, Ra. Selamat selesai Sheila Zara Salsabila." Ujar Langit melanjutkan ucapannya. "Setelah ini, janji untuk selalu bahagia, ya?"

"Setelah ini, jalani hidup lo dengan semestinya. Gue pamit, terima kasih bahagianya dan maaf banyak kasih lo luka." Ucap Langit, lalu ia berbalik meninggalkan Zara sendirian di teras rumahnya.

"Langit!" teriak Zara. "Kalau nanti kita hidup di rumah yang berbeda, kunjungi gue sebagai teman baik yang pernah memimpikan sebuah atap bersama lo." Sambungnya lagi dengan suara bergetar.
Entah Langit mendengar ucapannya atau tidak.

"Hampir satu tahun, tapi lo masih menjadi pemenangnya," ucap Zara mencoba menghilangkan seputar ingatan itu dari kepalanya.

Sekumpulan ingatan tentang laki-laki bernama Nathan Langit Aksara itu kembali bermunculan di kepala perempuan yang sedang duduk di depan kelasnya, tapi tiba-tiba hilang karena suara ini.

"Zara ya?" Ujar seorang laki-laki yang entah sejak kapan berdiri di depannya.

Zara menatap laki-laki itu dengan curiga, "tau nama gue dari mana?"

Laki-laki itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini punya lo?" sambil memberi beberapa lembar sobekan kertas yang terdapat sebuah tulisan-tulisan indah di dalamnya.

Sial bisa-bisanya tulisan itu ada sama dia, Zara langsung berbicara dalam hati.

Laki-laki itu lalu menjulurkan tangannya, "Alam Grafik Mahesa," ucap Alam memperkenalkan namanya.

"Salam kenal," sambungnya lagi setelah Zara menerima uluran tangan darinya.

Belum sempat di balas oleh Zara, Alam dengan santainya melanjutkan ucapannya.

"Gue nemuin tulisan lo ini di pinggir lapangan, kemarin."

Zara pasti lupa memasukkan sobekan kertas itu ke dalam tasnya kemarin saat ikut Sakha latihan bola. Mungkin karena ojek onlinenya sudah datang sehingga terburu-buru dan tidak sempat memeriksa lagi.

Zara sedikit melirik bet kelas di seragam milik Alam sebelum menjawab ucapannya tadi.

"Sorry, kak, itu bukan punya gue."

"Permisi," tanpa panjang lebar Zara masuk ke kelas.

Sedangkan Sakha yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari sana memperhatikan mereka berdua lalu mendekat, dan akan kembali berusaha untuk menyusun strategi agar Zara dan Alam menjalin pertemanan.

"Sabar, bro .... Zara gitu anaknya, butuh waktu buat deketin dia."

"Lo bener, Sak, dia emang beda. She doesn't even know me. Misterius, judes, galak, but unique. Gue nggak akan nyerah."

"Apa gue bilang, lam." Sambil menepuk lengan cowok yang biasa di panggil lam itu. Sakha menyusul Zara masuk.

Kemarin memang ia menemukan sobekan kertas itu di pinggir lapangan ketika ia menghampiri Sakha selepas latihan futsal.

Alam melihat sobekan kertas yang tergeletak di dekatnya, ia mengambil dan sempat membaca tulisan itu, "punya siapa nih?"

Sakha menoleh, "oh .... punya Zara mungkin, tadi dia yang duduk di situ."

"Zara? Zara siapa?"

"Zara temen gue."

Alam semakin penasaran, "temen lo? sejak kapan temen lo ada yang namanya Zara?"

"Temen kelas gue, sejak awal masuk SMA ini. Emang gitu anaknya, invisible."

"Ah, bohong lo."

"Gini deh, kalau lo nggak percaya ada manusia kayak Zara, lo besok ke kelas gue, balikin tuh kertas ke dia. Lo pasti kaget." Ujar Sakha lalu menenggak minumannya yang dibawakan oleh Alam.

"Kaget kenapa?"

"Kaget karena untuk kali pertama ada perempuan yang dengan gampangnya menolak seorang Alam Grafik Mahesa."

Merasa tertantang hingga membuat Alam menghampiri Zara pagi tadi, dan benar Zara adalah perempuan pertama yang bersikap cuek denganya. Tapi bagi Alam, Zara adalah perempuan unik.

****

Gimana prolognya?

Kasih krisar di sini

Sampai jumpa di bab 1 👋

Terima kasih sudah baca broo💙

Follow Ig : @sweetsvanila_ untuk mendapatkan informasi seputar dear Alam.

DEAR ALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang