VII: Itu Barusan.. Nembak, ya?

10 2 2
                                    

Karena self-conscious kok rasanya seolah keheningan menyelimuti mereka rasanya jadi lama banget. Debar jantung gue kok kayaknya berisik banget, ya?

"Lo ikut ekskul apa?" tanya Wisnu memecah keheningan, sudah selesai dengan semua jendela di satu sisi dinding kelas sebelah dalam yang menghadap luar. Lalu ia pindah ke sisi satunya, yang menghadap langsung ke koridor kelas.

"Jurnalistik. Mulainya masih pukul 3 sore nanti." ia menjawab sekenanya. "Lo?"

"Gue ekskul rugby. Jamnya sama."

Hening.

"Udah makan?"

Windy terkejut. Apa dia yang geer-an, apa dia yang salah tingkah sendiri, kok nanyanya kayak tipikal pertanyaan PDKT atau pasangan baru pacaran gitu sih? Ia menoleh ke arah Wisnu untuk tahu ekspresi wajahnya, tapi Wisnu sedang memunggunginya. Masih fokus dengan deretan jendela. Windy menyibukan diri dengan memasukan infocus dan peralatan lain ke tempatnya.

"Belom. Tadi abis ishoma gue langsung balik kesini buat piket. Kalo lo?"

"Belom. Abis ini mau jajan bareng?"

Fix! Detak jantung dan pikiran Windy benar-benar dibuat kacau oleh ajakan sederhana itu. Udah, udah. Wisnu baik ke semua orang. Udah woy, otakku, jantungku. Tolong tenang sedikit!

Windy berusaha stay cool, "Kalau masih ada waktu oke." Windy tidak mau terlalu mentah-mentah menolak. Wisnu kan udah sopan dan baik. Nanti paling ia bakal sok-sokan mesti ke toilet karena sakit perut lalu pamit, gampang kan?

"Gue matiin ACnya sekarang, ok nggak? Takut lupa." tanya Windy, sekali lagi berusaha menyibukan dengan kesibukan nyata di hadapannya.

"Ok kok, buka aja pintunya lebar-lebar biar anginnya masuk."

Windy melakukannya dan benar saja, ketika satu sisi pintu yang biasanya dikunci itu ia buka dan biarkan lebar, angin langsung mengibarkan rambutnya yang pendek sebahu itu seperti anime aesthetics. Windy menikmatinya. Ketika ia menoleh untuk melihat apakah Wisnu sudah selesai, Wisnu ternyata tengah menatapnya. Mata mereka bertemu lalu mereka berdua salah tingkah.

"Udah mau selesai, kok. Sori ya udah bikin lo jadi ikut nunggu."

"No, no. It's fine." Windy menunduk, buru-buru bergerak. Ia ingin menyembunyikan pipinya yang terasa memanas itu dan menyampirkan anak rambutnya yang liar tertiup angin ke belakang telinga. Windy dengan canggung memastikan elektronik tercabut, meja guru rapi, dan kantong sampah diikat rapat. Ia menempatkan sapu dan pengki ke belakang kelas lalu meraih kardus piket dan menunggu di depan pintu. Ransel dan sweaternya sudah ia pakai.

Wisnu menaruh peralatannya kembali ke kardus lalu membersihkan tangannya. Ia menutup pintu kelas lalu mengulurkan tangannya, "Biar gue aja yang angkat." katanya. Windy menyerahkan kardusnya.

Beberapa langkah mereka berjalan bersama, "Mungkin gue yang geer ya, tadinya gue kira lo ngehindar dari gue."

Windy berhenti melangkah. Ia tidak menyangka Wisnu akan sejujur itu. Atau sepeka itu.

"Sori kalo gue bikin lo nggak nyaman. Mungkin gue jadi self-conscious karena terlalu merhatiin lo." Wisnu menoleh. Kakinya nampak melangkah ragu, seperti ingin menghampiri sisi Windy atau nggak. Tapi yang Windy bisa tangkap, Wisnu berusaha keras memastikan ia tidak membuat Windy tidak nyaman.

"Maaf," cuma itu yang keluar dari mulut Windy.

"Eh, kok lo juga minta maaf?"

"Gue cuma nggak mau terlibat dalam drama yang nggak perlu. Gue cuma pingin sekolah dengan tenang." Windy menjawab. Wisnu sudah jujur . Windy berpikir, ia juga seharusnya bisa jujur. "It's nothing personal. Gue heran banget lo bisa ramah dan asik ke semua orang dan itu...nular."

Wisnu tersenyum lega mendengarnya. Windy jadi semakin heran. Ekspresi-ekspresi hangat seperti itu bukannya malah akan riskan membuat Windy lebih salah paham, ya? Tapi kenapa Windy suka banget melihatnya...

Tetapi perlahan senyum itu memudar dan berubah serius "Ah, iya. Sori ya, temen gue yang itu bisa agak posesif. Kita tumbuh bareng dan deket dari kecil. Dan ini bukan pertama kalinya cewek yang deket sama gue mau temen atau mau gimana, komentar hal yang sama." ia menghela napas berat.

"Gue pikir kalian pasangan ideal." Windy menyampaikan pendapatnya. "Kayak childhood sweetheart turn into highschool sweetheart?" Wisnu terlihat terganggu, "gue hanya menyampaikan apa yang pasti dipikirin anak-anak lain juga." Windy mengangkat bahu, sedikit merasa bersalah.

"Hubungan kami rumit. Keluarga kami emang deket banget. Dulu tetanggan dan emang kayak keluarga kedua aja gitu." Wisnu menggeleng kecil kepada dirinya sendiri. "Tapi kami nggak pacaran atau ke arah itu." ia menegaskan.

"Bisa dimengerti, kok." gumam Windy yang pelan-pelan sudah melangkah beriringan di sisi Wisnu. Bahkan dengan dua tangan membawa kardus piket, ia masih membukakan pintu untuk Windy. Windy melangkah ke dalam dan membantu memberi ruang di rak. Sedekat ini membuatnya menyadari kalau Wisnu dua kepala lebih tinggi daripadanya.

Mereka terdiam sejenak disitu.

"Tadi itu, gue serius." Ujar Wisnu serak.

"Sori?"

"Gue merhatiin lo lebih dari gue merhatiin orang-orang lain. Dan gue lega lo menghindari bukan karena nggak suka sama gue."

Windy menggeleng, "Jangan, Wisnu. Gue tersentuh banget dengernya. Cowok idaman satu sekolah, cowok yang a genuine gentleman ngomong kayak gini, tapi-." tanpa sadar tangan Windy gemetar, teringat Kampret, teringat perudungan saat SMP yang mesti ia lewati selama satu tahun penuh.

Wisnu meraih tangannya menenangkannya.

"Ini pertama kalinya juga buat gue, serius suka sama cewek." suaranya masih serak dan di telinga Windy seperti beberapa oktaf lebih rendah. Ia menyadari kemudian itu suara Wisnu saat sedang gugup. "Gue juga gatau kenapa gue bisa sangat jujur kepada lo seperti sekarang ini. Pada akhirnya, gue selalu mergokin diri gue sendiri menatap lo dan bertanya-tanya soal lo." Wisnu terlihat frustrasi, "You bewitched me Windy Hujannisa and I really want to get to know you."

Setelah beberapa waktu Windy baru menyadari, kali ini yang bergetar adalah tangan Wisnu. "Gue mungkin secara nggak sadar akan mencari lo atau mendekati lo. Tapi gue nggak akan maksa lo..." Wisnu berkata lirih.

Windy reflek, menggenggam tangan Wisnu. 

"Gue nggak siap untuk hal kayak gini, Nu. Sori.. bukannya gue nggak berterima kasih, tapi..."

Pelan-pelan Wisnu melepaskan genggaman tangannya. Windy sudah berpikir yang terburuk kalau cowok itu ilfeel, cowok itu marah, cowok itu merasa Windy tak tahu diri sudah ditaksir orang yang paket komplit... Oh no! Wisnu bukan Kampret dan ini dia maksud gue kalo gue belom siap kan.. 

"Gue nggak apa-apa Windy. Gue yang berterima kasih lo udah dengerin apa yang mau gue bilang." Wisnu masih menatap Windy, kali ini seperti menimbang-nimbang. "Kali ini mungkin nggak, tapi kalau bisa next time kita jalan bareng, yuk? Ke kantin aja juga nggak apa-apa." Wisnu hanya tersenyum kecil lalu berbalik, hendak membukakan pintu. Wajahnya terlihat lega dan ikhlas, membuat Windy pun diliputi rasa teduh.

"Gue nggak seberani elo Wisnu. Tapi kalau suatu hari gue berani jalan sama lo dan lo masih punya perasaan yang sama, gue nggak bakal ngehindar lagi kayak hari ini." Windy buru-buru menyelipkan tubuhnya di pintu yang baru terbuka sedikit itu, lalu buru-buru lari menuruni tangga entah kemana. Ia takut jantungnya akan meledak jika terlalu lama sedekat itu dengan Wisnu. 

 ☕

Karena nulis ini sendiri aku gatau apakah takaran sweetnessnya pas  atau nggak. Tapi jujur, ini semua 11-12 sama yang di mimpi aku. Hope readers can enjoy!



Wisnu, Windy, dan Dua Cangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang