BAB 7

339 84 5
                                    

📖📖📖📖
.
.
.
BAB 7 - Bukan tempat untuk pulang.

Sudah dua hari kepalanya terasa sakit, mungkin akibat dari pukulan balok hari itu.
Alwi memijat pelan tempat yang ia yakini menjadi pusat rasa itu.
Lehernya ia putar pelan guna mengurangi rasa pegal di tengkuknya.

Setelah dirasa agak mendingan, Alwi beranjak menghampiri cermin, merapikan penampilannya sejenak.

Hari ini hari minggu, Alwi ada rencana mabar dengan Suheil dan Reynan di warnet.
Libur sekolah harus digunakan untuk santai-santai.

Namun tiba-tiba ...
Suara pecah terdengar dari lantai bawah.
Mmbuat Alwi terburu menuruni tangga.

Betapa terkejutnya ia ketika sampai di lantai bawah.
Mata itu membola, spontan berlari menubruk sang Mami yang tengah berlutut dengan kedua tangan menutupi kepala.

Hingga ...

Praakk!

Sebuah piala mendarat di belakang kepala Alwi. Alwi menggingit ujung lidah, menahan agar tak merintih dihadapan sang Mami.

"Kamu ngapain Alwi?" terdengar suara kaget Fatih .

"Istighfar, Pi. Yang Papi lakuin itu nyakitin Mami."

Alwi berbalik, menatap Fatih dengan tatapan sulit di artikan.
Ia ingin marah, ingin memaki, ingin berteriak, namun hatinya menyuruhnya untuk sabar.

Dan lagi, Alwi hanya bisa menatap sang Papi dengan sedemikian rupa.

"Kamu mau melindungi wanita j*l*ng itu?" Fatih membentak, tak suka dengan sikap Alwi. "DIA PANTAS DI PUKUL AL, DIA SELINGKUHIN PAPI."

"AKU NGGAK PERNAH SELINGKUH, MANA BUKTINYA KALAU AKU SELINGKUHIN KAMU?"

Pranggg!

Sontak Ika menutup kedua telinga, tubuhnya bergetar akibat sikap kasar Fatih.

Sedangkan Alwi, yang menyaksikan hal tersebut mengeraskan rahangnya.

Ah!

Lagi-lagi dirinya harus berada di posisi seperti ini.
Melelahkan sekali.

"Cukup Pi! Jangan di terusin lagi, papi nggak lihat Mami ketakutan," ujar Alwi pelan. Berharap bisa meredakan amarah Fatih.

Sayangnya, kenyataan selalu menghianati ekspektasi. Alwi seharusnya tahu bahwa usahanya itu sia-sia.

Fatih mendecih. Meraih vas bunga dari atas meja, membantingnya ke lantai. Pria itu menghancurkan hampir semua barang.
Bahkan sempat memukul Alwi yang berusaha melindungi sang Mami.

Fatih mengacak rambut, frustasi. "ARRRGGHHH! TERSERAH KALIAN BERDUA."

Puas meluapkan amarah, sang Papi beranjak keluar dari rumah. Meninggalkan sepasang Ibu dan anak itu dalam lingkup sunyi yang mati.

Berangsur, isakan Ika terdengar. Alwi buru-buru memeluknya, berusaha menenangkan, sayangnya ...

Plaaakkk!

"Udah berapa kali Mami bilang ke kamu, berhenti peduliin Mami, berhenti lindungin Mami Al. Berhenti." Ika mengusap kasar air matanya. Mendorong tubuh Alwi lalu berlari menuju kamar.

Apa yang Alwi rasakan kala itu?

Hancur!

Semua pertahanan yang ia bangun runtuh hanya karena satu tamparan dari Ika. Cowok itu perlahan mengangkat tangan, mengusap bekas tamparan sang Mami.

Kepalanya yang sakit, pandangannya yang kabur, seketika hilang dan hanya menyisakan panas di pipi.

"Mami nampar gue!?" gumamnya, setengah tak percaya.

Kemudian, terdengar suara teriakan dari kamar Ika. Alwi berlari menggedor pintu kamar Maminya yang dikunci.

"Mi ini Alwi," pintu itu digedor sekeras mungkin. "Buka pintunya, Mi. Biarin Alwi masuk."

Bukannya membuka pintu, Ika malah melempari pintu tersebut dengan suatu benda. Menciptakan bunyi.

Braaakk!!

Membuat Alwi terkaget sekali lagi.

"MAMI HARUS NGOMONG DENGAN BAHASA APA ALWI. BERHENTI PERHATIIN MAMI, MAMI GAK BUTUH PERHATIAN DARI KAMU. PERGIIIIII."

Untuk yang kesekian kali, isak tangis terdengar samar dari ruangan bercat biru tersebut.

Alwi mematung diam di tempat. Mami menyuruhnya pergi, tapi kakinya terasa berat untuk melangkah.

Drrrr! Drrrrr!

Beruntung getar ponsel menyadarkan Alwi. Dirogohnya benda pipih itu. Sebuah pesan dari Suheil mengingatkan Alwi tentang janjinya.

"Alwi minta maaf," ucapnya lirih, lalu berjalan menjauhi kamar Maminya.

Minggu itu semua terasa berantakan.
Ika menangis histeris di kamar, Fatih memilih untuk menenangkan diri di luar, dan Alwi, membelah jalanan dengan perasaan kalut.

Jika ia tak ingat janjinya pada Argi untuk selalu tersenyum, tak akan Alwi berpura-pura bahagia kala batinnya tengah disiksa.

Sesuatu seperti kepura-puraan hanya menambah beban hidup. Bersyukur ia masih punya iman yang kuat, kalau tidak, mungkin dirinya sudah lama berakhir di pemakaman.

📖📖📖📖

"Lo kalau lagi gak enak badan, gausah sekolah Wi, tiduran aja di rumah."

Alwi terdiam, bagaimana bisa ia tidur tenang di rumah jika rumahnya saja bukan tempat yang nyaman untuk istirahat?

"Gue gak kenapa-napa, cuma pegel dikit."

Reynan mendecih, "Cuma pegel tapi wajah pucet kaya gitu."

"Pusing dikit," aku Alwi akhirnya.

Suheil yang semula memijat pundak Alwi menghentikan aksinya, bertanya dengan serius. "Lo mau ke UKS aja? Disana lo bisa istirahan Wi."

UKS?
Mungkin ide yang bagus.

Alwi mengangguk, kepalanya semakin sakit.
Merepotkan juga kalau-kalau dia tumbang di kelas.

"Gue ambil tas dulu ke kelas," ujar Suheil.

"Ngapain bawa tas?"

"Terus pulang kita nanti."

Alwi melotot.

Reynan menggeleng tak setuju. "Gak boleh gitu lah, mendingan gue yang nganter Alwi ke UKS. Lo balik kelas sono."

"Wah curang, lo juga mau bolos kan? Gak bisa, gue yang bawa Alwi ke UKS." Suheil tak boleh kalah.

"Gue aja."

"Gue!"

"Gue."

"Tapi gue paling peka sama keadaan Alwi."  Reynan masih kekeuh.

Suheil ngotot dengan urat-urat terlihat di leher. "Gue yang saranin dia ke UKS."

Kedua manusia itu saling menatap tajam sembari melontarkan argumennya masing-masing.

Sudahlah, Alwi makin pusing.

Ditengah perdebatan kedua sahabatnya yang tak ada ujung, Alwi beringsut dari kursi.
Berjalan keluar kelas dengan tubuh agak terhuyung.

Sedangkan Reynan dan Suheil masih sibuk berdebat.
Tak tahu kalau orang yang menjadi perdebatan sudah tak ada di antara mereka.

📖📖📖📖

____ Kisah Sederhana ____
(Alwi Assegaf)
.
.
.
.
.

Gimana kalau alurnya makin gaje?

.
.

Votenya dan komennya kawan. 😁

Kisah Sederhana-(Alwi Assegaf)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang