E

813 79 3
                                    




Seperti hari-hari sebelumnya, Haru menunggu Mara di taman universitas. Tepatnya di bawah pohon rindang yang menjadi tempat pertemuan pertama mereka dulu.

Bibirnya merekah saat mendapati sang terkasih tengah melambaikan tangan ke arahnya. Namun senyumnya tak berlangsung lama saat menyadari rona Mara tak secerah kemarin.

"Mara kamu sakit?" Haru bertanya saat Mara berdiri di depannya, masih dengan senyum indahnya Mara menggeleng.

"Aku, enggak. Kan memang seperti ini."

Haru menggeleng tidak menerima alasan yang Mara berikan "tapi hari ini lebih pucat, kamu benar tidak apa-apa? Sudah minum obat mu?"

Mara tersenyum teduh melihat bagaimana Haru mengkhawatirkannya.

"Aku sudah minum obat, dan lagi kak Rama buat bekal banyak! Kita makan di sini saja!"

Mara menarik tangan Haru untuk duduk di bawah pohon, membuka bekal yang ia bawa dan menyodorkannya pada Haru.

"Masakan kak Rama paling enak, jadi kamu harus habiskan!"

Haru menerima kotak bekal yang di berikan Mara, matanya tak luput dari binar mata Mara yang selalu bercahaya.











Tapi Haru melihat cahaya itu sedikit redup, seperti akan padam.

















.


















Kelas sorenya telah selesai dan Haru akan berjalan menuju gedung C, dimana kelas Mara berada.

Mata tajamnya menemukan Mara berjalan tertatih dari arah koridor, berjalan dengan cepat untuk segera sampai di samping Mara.

"Mara?!" Tangannya meraih bahu kecil itu saat pemilik nama limbung.

"Hey? Mara bisa dengar Haru?"

Mata indah itu menatapnya sayu, mulutnya terbuka sedikit seperti sedang bergumam, dan dadanya naik turun dengan cepat.

Tak membuang waktu Haru langsung membawa tubuh itu pada gendongannya, berlari sekencang yang ia bisa untuk segera sampai dimana tempat mobilnya terparkir untuk membawa Mara ke rumah sakit tempat Rama bekerja.













.

















Haru menunggu dengan cemas di depan ruang ICU, tangannya saling bertaut erat, berdoa dalam hati agar semua baik-baik saja.





Clek!





Saat pintu ruang ICU terbuka, Haru bisa langsung melihat ranjang yang berisikan Mara di dorong keluar oleh beberapa suster.

Haru baru akan mengejar, kala tangannya di cekal seseorang.

Itu Rama, kakak dari Mara yang kini menatapnya dengan tatapan yang sulit Haru artikan.

"Mara akan di pindahkan ke ruang rawatnya, ia akan di rawat untuk beberapa hari. Kamu sebaiknya pulang."

"Kak Rama mengusir saya?"

Rama menggeleng pelan, "Tidak Haru, ini sudah malam sebaiknya kamu pulang dan besok baru kamu bisa kembali menemui Mara."

"Tapi... Saya ingin melihat Mara lebih dulu sebelum saya pulang."

"Pulang, Mara butuh istirahat sekarang dan saya tak mengijinkan mu untuk melihatnya pada saat ini."

Haru menghela napas pasrah, bagaimanapun ia harus menuruti perkataan Rama selaku kakak dari Mara. Ia tak akan bertanya jauh karena memang sekarang Mara butuh banyak istirahat.

"Kalau begitu saya pamit kak, tolong kabari jika sesuatu terjadi pada Mara."

Rama hanya mengangguk mengiyakan, dan membiarkan Haru berjalan menjauh.















.





















Mara menggenggam tangan Rama erat, mata sayunya menatap langit-langit rumah sakit.

"Kak... Bagaimana jika pendonor jantungnya tidak juga di temukan? Bagaimana jika Mara pergi lebih cepat dari dokter Lingga katakan? Bagaimana–" Rama menarik pucuk kepala Mara lembut saat sang adik meracau tak jelas, mendekapnya dengan sayang.

"Mara, dengar kata kakak." Ia mengelus kepala sang adik dengan pelan.

"Semua akan baik-baik saja, Kakak akan cari donor jantung untuk kamu, kamu nggak perlu takut, ada kakak disini. Mara percaya sama kakak, kan?"

Mara mengangguk dalam dekapan Rama, tangannya yang semula bertaut pada tangan Rama kini berpindah bermain di atas dada Rama.









"Kak, Haru sedang apa ya?"




Alis Rama bertaut, kenapa menjadi bertanya tentang Haru? Padahal tadi mellow-mellow sampai bergumam tak jelas.





"Kak~"







Rengekan Mara terdengar lucu di telinganya, terkekeh singkat sebelum kembali membelai rambut halus Mara.

"Kenapa tidak menelpon Haru saja jika ingin tau?"

Bibir mungil Mara mengerucut lucu, lalu menghela napas berat.

Tingkahnya seperti sedang memiliki masalah besar yang sangat besar hingga membuat Rama gemas sendiri.

"Sudah malam, takut menganggu Haru."

"Sudah tau malam, kenapa masih belum juga tidur?"

"Mau di temani kak Rama."

"Tentu kakak temani, biar kakak peluk dan puk-pukin biar kamu cepat tidur."

"Tapi nanti ada pasien, kak Rama pasti meninggalkan Mara."

"Tidak, sekarang kan sudah bukan shift kakak lagi, jadi kakak bisa puas-puas sama kamu."

Rama mengeratkan pelukannya, tangannya yang berada di belakang punggung Mara, menepuk punggung sang adik pelan.

"Sekarang tidur ya?" Rama bisa merasakan kepala Mara mengangguk pelan.

Rama tersenyum di buatnya, kepalanya mendongak dengan tatapan memohon.








"Tuhan... Jika boleh biarkan aku menggantikan posisinya, aku tak sanggup menatap raut kesakitan yang di rasakan adik ku..."
















.

Detak ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang