Buku Bersampul Biru

779 77 1
                                    

Kicau burung itu bagai nyanyian termerdu di pagi hari. Lebih merdu dibanding harus mendengar dering alarm yang memuakkan. Tetapi kadang, burung-burung yang bergerombong layaknya sebuah keluarga itu bisa saja terpecah. Hirap dari pandangan dan dari jangkauan orang-orang.

Sama seperti kejadian hari ini yang terjadi tepat di depan mata seorang pemuda di balkonnya. Ia yang sedang membaca dengan khidmat di waktu pagi, menikmati kicau burung yang menjadi lagu pertama yang didengarnya hari ini. Tetapi langsung begitu saja dirusak oleh suara berisik dari bawah sana.

Suara itu membuat burung-burung favoritnya terbang menjauh.

Argh! Tolong jangan bilang bahwa pelakunya adalah anak itu lagi.

Dengan kesal ia menengok ke bawah dan....

Tepat sekali. Anak itu lagi yang membuat burung-burung pergi. Anak yang selalu bernyanyi dengan suara jeleknya saat pagi-pagi buta. Nandi heran, mengapa tidak ada satupun tetangga yang mau menegurnya untuk tidak bernyanyi.

Gila saja! Anak tersebut selalu bernyanyi tiap kali lewat.

Sungguh hal itu sangat mengganggu. Waktu membacanya jadi rusak karena suara jelek itu. Ingin sekali Nandi berteriak ke anak tersebut. Tetapi kalau ia berteriak, nanti orang-orang akan tahu keberadaannya. Rahasia Ibunya akan terbongkar, dan Andini pasti sangat marah.

Tapi menurutku Tuhan itu baik
Tapi menurutku Tuhan itu baik
Hari-hari kujalani
Harap ada yang bermakna

Dan, tahu tidak? Lagu yang sama selalu anak itu nyanyikan setiap hari. Apa tidak bosan Nandi mendengarnya? Ya, ya, ya, Nandi juga tau lagu itu cukup enak untuk didengar. Tajuknya 'Usik' milik penyanyi lokal bernama Feby Putri. Tetapi kalau dinyanyikan dengan suara sumbang seperti itu, lagu ini jadi rusak!

"Sttt!" Akhirnya, Nandi bersuara.

Lebih menyebalkan lagi ketika anak di bawah sana tidak dengar dan malah berjalan dengan sangat lamban. Suaranya jadi tidak hilang-hilang.

Nandi berdecak tak suka. Matanya mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Dan untung sekali ada sebuah koin.

Ya. Nandi akan melemparkan koin itu. Masa bodo jika mengenai kepalanya atau apapun itu.

Nandi mulai menghitung.
"Satu... Dua..."

"Tiga!"

Koin itu jatuh dengan cepat ke bawah sana. Tapi sayangnya meleset dan tidak mengenai anak itu. Keberuntungan tidak pernah ingin memihak ke arahnya.

Akhirnya dengan emosi dan tanpa pikir panjang ia melemparkan benda di tangan kirinya.

Brakk

Meleset lagi. Namun tentunya suara yang timbul dari jatuhnya benda itu mampu menghentikan lantunan dari anak yang di bawah. Lebih apik lagi, benda persegi panjang tersebut jatuh tepat di depan kaki si anak. Namun siapa sangka bahwasannya benda yang jatuh,







ialah buku pemberian Pak Derma--ayah Nandi!

Sial!!

Misuh Nandi dalam hati. Sekarang bagaimana? Nandi sangat amat memohon serta memanjatkan do'a agar anak itu tidak mengambil bukunya. Tolonglah, itu adalah barang paling berharga menurut Nandi. Ia bahkan tak rela buku miliknya di sentuh sedikit saja oleh orang lain.

Terlihat orang di bawah sana terdiam. Ia mulai berjongkok kemudian, tangannya seolah meraba beberapa sisi lain aspal. Sampai akhirnya berhenti ketika meraba sebuah buku. Tanpa ragu ia mengambilnya. Sampul berwarna biru bagai air hujan itu ia raba. Sedikit membersihkan debu-debu akibat aspal.

Hujan Februari || NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang