Bab 6: Terlalu Berharap

7 3 4
                                    

Keningnya berkerut seiring dengan notifikasi yang terus masuk ke ponselnya. Ada dua hal yang membuatnya kesal selepas berbincang dengan Wira, salah satunya sedang memborbardir ponselnya dengan pesan yang berjibun jumlahnya.

Wajah manisnya terlihat masam, keringat ikut menghiasi wajah ovalnya itu. Membuat seseorang tersenyum dan mendekatinya.

"Kenapa, sih, Neng? Kok cemberut gitu?" tanya orang itu sembari tersenyum.

"Eh? Frey! Ih, kamu ngapain? Ngagetin tahu," omel Yefta kesal. Kesal karena gadis itu tidak suka dikagetkan, beruntung dia tidak mengucapkan hal-hal aneh tadi. Biasanya dia akan berteriak keras jika dikagetkan.

"Lah, kok ngamuk? Kamu daritadi kenapa? Kok jalannya sambil manyun gitu? Mana menghentakkan kaki gitu lagi, lucu."

Namanya Franky, tetapi Yefta suka memanggilnya dengan panggulan Frey. Hanya dia, tidak ada yang lain. Entah Yefta harus bersyukur atau bagaimana, sebab panggilan khusus darinya untuk Franky membuatnya merasa menjadi orang yang spesial.

Wajah Yefta bersemu merah, melihat tawa di wajah Frey menambah energinya yang hilang karena teriknya mentari. Frey segalanya bagi Yefta. Namun, Yefta bukan segalanya bagi Frey.

"Ini anak, diajak ngomong malah ngelamun," celetuk Frey sambil menggelengkan kepala.

"Hah? Oh, iya. Sorry. Biasalah banyak pikiran." Sebisa mungkin Yefta mencari alasan supaya Frey tidak berpikir dia melamun karena mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu tampan yaitu dia.

Cowok itu terdiam cukup lama, senyumnya mulai memudar. Entah kenapa Yefta merasakan ada tatapan khawatir dari sana. Tatapan yang menenangkan sekaligus menghanyutkannya dalam derasnya cinta.

"Kamu sehat, kan?" tanya cowok itu tiba-tiba.

Terkejut mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang menghangatkan relung hatinya. Berusaha keras untuk menahan senyumnya yang ingin terlukis lebar di wajahnya. Menahan kakinya yang ingin melompat karena kabarnya ditanyakan oleh sang pujaan hati.

"K-kenapa nanya gitu?" tanya balik Yefta.

Frey menggeleng pelan. "Wajahmu terlihat pucat, lingkar hitam di bawah matamu juga makin lebar aja. Aku jadi khawatir." 

Yefta masih tidak dapat berucap, terlalu bahagia dengan kalimat yang didengarnya. 

"Mungkin kita bisa-"

Belum sempat Frey mengucapkan keinginannya, nada dering notifikasi masuk di ponselnya mulai terdengar. Tangannya mengisyaratkan Yefta untuk tetap berdiri di tempatnya, jangan pergi dahulu.

Yefta mengangguk paham, senyumnya sudah mengembang sedari tadi. Bahagia rasanya diperhatikan oleh orang yang dikasihi. Sikap Frey semakin hari semakin membuatnya jatuh hati padanya. Yefta tidak lagi mempertimbangkan opsi akan disakiti seperti sebelumnya, terlalu dimabuk cinta hingga tidak ingin mengingat konsekuensi yang mungkin timbul. Harapnya begitu tinggi, dia menginginkan Frey. Hanya dia. Namun, bolehkah? Apakah memang dia jodoh yang Tuhan berikan untuk Yefta? Atau gadis itu yang terlalu berharap?

Namun, keraguan mulai hinggap di relung hatinya. Berbagai pertanyaan hadir melihat ekspresi bahagia Frey ketika berbicara di ujung lorong. Menatap ke arah hijaunya taman, tatapan cowok itu, terlihat senang. Tidak berselang lama hingga akhirnya Frey kembali ke dekat Yefta.

Frey masih asik mengetikkan sesuatu di layar ponselnya, tanpa menyadari tatapan heran dari Yefta. Tatapan dengan tanya tanya yang tersirat. Namun, Yefta masih diam menanti hingga Frey selesai dengan urusannya. Rasanya kakinya mulai lemah, ingin rasanya melirik kepada siapa dan apa isi pesan itu, kenapa Frey terlihat bahagia? Namun, dia tidak punya hak untuk itu. Dia tidak berhak ikut campur dalam urusan hidup Frey. Menyakitkan, tapi itu adanya.

Seusai mengirimkan pesan pada seseorang, Frey menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celananya dan menatap ke arah Yefta. Cowok itu mengerutkan keningnya, lagi-lagi gadis itu melamun, tatapannya tersirat kesedihan.

"Yefta? Kok melamun lagi? Tadi bukannya udah bisa ketawa ya?" tanya Frey sambil melambaikan tangannya di depan wajah Yefta.

"Gimana nggak sedih? Kamu malah senyam-senyum chat sama orang lain," gumamnya pelan.

"Hah? Kamu bilang apa?" tanya Frey lagi. Suara Yefta terlalu kecil, tidak terdengar jelas.

"Eh? Oh, nggak kok," elak Yefta. Gadis itu panik, dia tidak sadar dengan ucapannya. Dia kira tadi berbicara dalam hati, nyatanya malah berbicara langsung pada Frey.

"Kamu ngomong tadi. Tapi, nggak jelas. Ayo, dong," pinta Frey lagi. 

Yefta menimbang-nimbang, bingung harus mengatakan apa. Kalau jujur, dia tidak siap dengan konsekuensinya. Selain ditolak, bisa saja hubungan mereka jadi canggung. Lebih baik diundur saja, dia tidak ingin hubungan mereka canggung. Tidak sekarang.

"Oh, itu. Aku laper. Yuk, temenin aku," ujarnya lagi. Yefta tersenyum lalu menarik lengan Frey. Saking paniknya sampai lupa jika dia jarang menyentuh Frey. Membuat Frey memandang heran ke arah Yefta. Gadis itu tidak pandai berbohong, tapi dia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Membiarkan dia mengungkapkan isi hatinya sendiri.

Mereka sudah duduk berhadapan, suasana kantin tidak begitu ramai. Mungkin karena sudah sore atau memang masih ada kelas atau praktikum. Jantung Yefta sudah berdangdut ria sedari tadi, wajahnya bersemu merah karena setelah sekian lama akhirnya bisa duduk berdua dengan Frey.

"Kamu mikirin apa? Diem mulu daritadi," keluh Frey heran.

"Mikirin kamu tadi ditelpon sama siapa, sih? Kok aku lihat kamu senyum-senyum gitu?"

Demi abu dan jelaga, Yefta sangat penasaran orang yang berbalas pesan dengan Frey tadi. Berusaha menyingkirkan rasa malunya demi menjawab rasa penasaran itu.

"Oh, itu. Bella Alvans. Kamu inget? Dia partnerku ikut lomba poster dan lomba lainnya. Nah, dia akan pindah ke kampus kita. Pasti seru, deh," ujarnya lagi.

Dari nada bicaranya terdengar nada bahagia. Yefta tidak pernah mengira Frey akan begitu bahagia dengan hadirnya seorang wanita selain keluarga dan sahabat perempuannya. Ternyata, Yefta salah. 

Frey masih terus membicarakan keseruan yang dilakukannya dengan perempuan itu, hari-hari penuh kebahagiaan dan canda tawa, tetapi setiap kata itu mengiris dan menyakitkan bagi Yefta. Berbagai tanda tanya kembali hadir, bagaimana jika Frey jatuh cinta pada Bella Alvans? Apakah tidak ada Frey di masa depannya kelak? Tanda tanya yang menyakitkan.

Mereka bagaikan syair lagu yang tidak berirama, memiliki satu tujuan untuk menjadi farmasis. Namun, tidak dalam kisah asmara. Melihat betapa bahagianya Frey sekarang membuat Yefta berandai-andai, apa yang sudah perempuan itu lakukan hingga Frey seperti itu? Padahal Yefta lebih dahulu bertemu dengan Frey dibandingkan dia. Ternyata tidak ada kata lebih dahulu atau terakhir. Jika memang begitu adanya, apa yang bisa dilakukannya? Memberontak pun tidak akan merubah kenyataan, bukan?

Yefta begitu larut dalam lautan kesedihan pada pemikirannya. Keresahan yang dirasakannya terus bertambah, memikirkan orang yang ada di hadapannya ini. Hingga dia kembali sadar karena makanan yang diantar ke meja mereka.

"Asik, udah datang, nih. Yuk, makan," ajak Frey penuh sukacita. 

Yefta ternyenyum tipis. "Hayuk, dong. Udah laper banget. Kamu seneng banget tadi ceritain Bella. Suka, nih, jangan-jangan?"

Demi apapun, Yefta hanya bercanda. Namun, dia semakin khawatir dengan jawaban yang akan diucapkan cowok itu.

Frey tersenyum sambil mengaduk bubur yang dipesannya itu. "Aku nggak tahu. Tapi, dia cewek yang baik. Aku suka."

Senyuman Yefta memudar. Ternyata, tutur batinnya tidak salah. Dia kalah.

-Bersambung-

1064 kata

Secuil Drama Perjodohan dengan Calon Kakek dari Cucuku (SDPdCKdC)-TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang