15: Kita?

9 1 0
                                    

Pembahasan yang tidak kunjung usai ini disponsori oleh ide Frey untuk mengantar Yefta pulang. Cowok itu bersikeras ingin mengantarnya pulang, ada yang ingin dibahasnya setelah ini. Ada perjanjian tidak tertulis antara Frey dan papanya, didikan kepada anak laki-laki kebanggaannya untuk menjaga pikirannya supaya tidak berkeliaran kemana-mana ketika melihat gadis cantik, tidak boleh ada niat buruk untuk merusak gadis cantik juga.

 Semua gadis itu cantik, kata yang bersifat relatif. Namun, tidak seimbang jika hanya mendidik anak gadis untuk menjaga diri dan caranya berpakaian, sudah seharusnya anak laki-laki juga dididik sebab sebagian besar kasus yang terkuak dari kasus pelecehan ini pelakunya adalah laki-laki. Semua pihak perlu diintropeksi, bukan menuduh korban yang tidak-tidak, melainkan membuat pelaku jera dan menjadikan kasus ini supaya pelaku di luar sana yang masih bebas untuk jera dan tidak lagi melakukan tindakan yang tidak terpuji tersebut.

Kali ini pria itu mengingatkan Frey akan diskusi panjang mereka untuk menjaga anak gadis orang. Anak gadis yang sudah susah payah dibesarkan oleh kedua orang tuanya dan dijaga oleh ayahnya. Tidak boleh dirusak oleh siapapun, ada harapan besar orang tuanya pada anak yang dibesarkan. Hidup dan masa depan ada padanya, serta harapan supaya anak mereka hidup lebih bahagia dari mereka.

Mengetahui maksud dan kode dari papanya, Frey mengacungkan jempol, "Siap, pa. Aman." Cowok itu memandang ke arah mamanya Yefta, meminta restu untuk membawa anaknya pulang ke rumah.

"Ya udah. Kalian hati-hati. Jangan ngebut. Yefta nggak bawa helm lagi," ujarnya khawatir. Dia lebih khawatir anaknya yang tidak memakai helm ini ketangkep polisi sehingga mereka harus membayar denda karena kena tilang.

"Aman tante. Helm Yefta sudah saya bawa juga, selalu ada di sana."

"Selalu?" tanya mamanya Yefta lagi.

Frey tersenyum. Mereka sering pulang bersama, helm itu memang dibawa khusus untuk diberikan kepada Yefta. Bukan untuk gadis manapun. Hanya dia. Namun, Yefta sering sekali menuduhnya kalau dia ganjen dan sengaja membawa helm lebih untuk menawarkan jasa antar pulang gadis-gadis cantik.

"Selalu tante. Frey tidak ada niatan untuk membonceng gadis lain, kok. Hanya anak tante seorang."

Gombalan kesekian yang didengar Yefta membuatnya tersenyum lebar. Siapa yang tidak bahagia mendengar pujaan hati memberikan gombal yang ditujukan pada diri sendiri? Tentu saja bahagia.

"Bohong, tuh, om. Yefta nggak percaya," ujar Yefta dengan penuh keraguan.

"Hayo, loh. Jangan bohong. Masa anak laki-laki kebanggaan papa bohong." Melihat cara mereka berbicara dan berinteraksi membuat Yefta menganggapnya termasuk orang tua yang suportif, menganggap anaknya sebagai sahabat. Dia tidak iri pada mereka, melainkan salut. Kalau dia dipercaya Tuhan sebagai orang tua kelak, dia ingin menjadi ibu sekaligus sahabat bagi anaknya. Dia tidak ingin anaknya menjadi alat untuk memuaskan keinginannya, apalagi mengharuskan mereka untuk menjadi dokter hanya karena impiannya yang pupus. Mereka pasti punya tujuan yang diberikan Tuhan, entah profesi apa yang akan mereka jalani nantinya, dia hanya berharap mereka tumbuh menjadi anak yang takut akan Tuhan. Dekat dengan-Nya, mengikuti arahan dari-Nya, dengan begitu dia akan tenang.

Wajah gadis itu memerah, membayangkan dia akan mempunyai anak bersama Frey. Padahal mereka baru saja mau bertunangan, khayalannya sudah berjalan terlalu jauh.

"Kenapa, tuh, muka merah?" goda Frey. Cowok itu penasaran, tetapi sejauh ini jika wajah gadis itu memerah berarti dia sedang dalam mode berkhayal, semoga saja yang dikhayalkan adalah dirinya.

"Ih, apa sih?" Yefta menutup wajahnya dengan tangan, dia malu tertangkap basah sedang berkhayal, apalagi orang yang dibayangkan ada dihadapannya! Sungguh pintar, beruntung gadis itu tidak sampai mengucapkan sepatah kata. Kalau iya, bisa saja dia menyebutkan nama Frey tadi. Hal itu akan memperjelas isi pikirannya tadi.

"Ya udah, tante titip Yefta ya. Kalian hati-hati. Jangan pulang terlalu malam, bahaya," pesan mama Yefta sambil menepuk pundak Frey. Ada rasa aman yang terasa di relung hatinya, dia yakin kalau Frey bisa dipercaya, terlebih lagi mereka sudah saling mengenal. Yah, semoga saja dia tidak salah. Anak gadis yang dijaga, dibesarkan dengan penuh perjuangan, dia sungguh berharga baginya dan suaminya.

"Siap laksanakan, tante. Nanti pasti Frey antar Yefta pulang dengan selamat tanpa lecet sedikit pun."

"Nice. Ya udah, papa mau pulang ke rumah dulu. Mamamu baru sampai di rumah, pasti udah nungguin daritadi."

"Hati-hati, Pa."

"Tante juga pamit, masih ada kerjaan. Dah sayang," ujarnya sambil menatap Yefta. Tatapan penuh kehangatan dan penuh haru. Anak gadisnya akan melangkah ke jenjang yang baru, tahap menuju dunia pernikahan.

"Iya, ma. Hati-hati ya."

Mereka berdua sudah keluar dari ruangan ini, sekarang tinggal Yefta dan Frey berdua. Gadis itu langsung menatap intens ke arahnya. "Kenapa? Mau bicarain apa?"

"Idih, galak amat. Santai, dong," goda Frey lagi. Cowok itu tersenyum lebar, dia sedang menatap calon isterinya. Plot tiwst kehidupan, sudah susah payah mencari pasangan hidup ternyata orangnya ada di sampingnya selama ini. Orang yang sering diajaknya kemana saja, jalan-jalan, belajar dan berburu makanan.

"Cepetan, aku ngantuk."

"Kamu iklas terima perjodohan ini?"

Mata Yefta langsung membulat, dia kaget dengan pertanyaan itu. "Kenapa nanya gitu? Kamu sendiri iklas, nggak?"

"Aku nanya duluan, Ta."

"Aku tahu perasaanku, yang jadi pertanyaan itu justru kamu."

Beberapa saat tidak ada suara yang terdengar, Frey mengambil beberapa saat untuk menenangkan diri. "Kamu tahu, Ta? Aku nggak pernah memikirkan untuk menikah secepat ini. Boro-boro nikah, mikirin pacaran aja nggak."

"Terus? Kenapa kamu bilang kayak gitu pas ada mamaku dan papamu? Kamu pencitraan doang?"

"Nggak gitu juga. Aku nggak mungkin mengecewakan orang tuaku dan orang tuamu. Aku tidak mau kehilangan kamu juga. Kamu manusia terbaik yang ada di hidupku, setelah orang tua dan adikku."

"Tapi, kamu nggak cinta sama aku?"

Yefta langsung menanyakan hal yang paling ingin ditanyakan sedari dulu, mempertanyakan perasaan Frey padanya. Sikap baiknya selama ini apakah murni karena dia orang yang terlalu baik atau ada secuil perasaan untuknya. Akhirnya dia berani untuk mempertanyakan hal itu. Setidaknya setelah ini dia bisa bernafas lega rasa penasarannya terbayarkan, entah akan sukacita atau menangis setelah ini.

"Untuk saat ini belum, Ta. Maaf."

Gadis itu menatapnya dengan tatapan kosong, dia tersenyum miris. Matanya mulai berkaca-kaca, padahal dia sudah mempersiapkan dirinya dengan pernyataan seperti itu. Semuanya sesuai dugaannya, tetapi tetap saja rasa sakit hati itu begitu menyakitkan.

"Lucu, Frey. Kamu mau bertunangan dengan orang yang tidak kamu cintai. Terus, kamu anggap aku patung gitu nanti? Atau kamu mau kita pisah kamar? Atau pisah rumah saja sekalian?"

Emosi sudah memenuhinya, dia terlalu dibutakan oleh amarah. Tidak dapat berpikir jernih untuk sementara, kekalutan itu terlampau jauh menguasai Yefta. Badannya gemetar, kakinya lemas. Dengan tangan menopang kepalanya, dia menangis.

-Bersambung-

Jumlah kata 1058 kata

Secuil Drama Perjodohan dengan Calon Kakek dari Cucuku (SDPdCKdC)-TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang