2. Pulang Bareng Raga

670 62 20
                                        

Di bawah tenda abang cilor yang berasap dan beraroma menggoda selera, seorang lelaki dengan ekspresi datar dan gaya elegan ala model iklan sabun berdiri sambil menggendong balita mungil yang tampak akrab. Lelaki itu Raga. Balita itu—tentu saja—Adhisty, si keponakan gemas-gemas bikin pengen nyubit pipi.

Naya yang baru turun dari motor langsung berhenti di tempat. Pandangannya tertuju pada Adhisty.

"Loh, itu Adhisty! Anak kecil rasa pasta gigi stroberi!" seru Naya sambil lari kecil kayak bertemu berlian.

Adhisty langsung melambai kecil. "Buna!"

Naya menyengir lebar, "Ih, makin pinter aja nih bocil." Dia langsung mengelus kepala Adhisty sambil melempar senyum ke Raga.

"Eh, Mas-nya babysitter baru ya? Full time kah? Gajinya UMR atau dibayar pakai susu kotak?"

Raga hanya menatap Naya datar lalu berujar, "Saya Pakde-nya."

Naya tertawa. "Pakde rasa pengasuh daycare, ya? Tapi nggak apa-apa sih, auranya adem. Cocok jadi pendamping hidup."

Raga masih berekspresi datar, tapi meladeni Naya. "Heran banget sama adik ipar saya punya teman kayak kamu. Apalagi Adhisty juga sering menceritakan tentang 'Buna-Buna', ternyata itu kamu."

"Wah, berarti gue terkenal dong!" Naya berpose ala selebgram. "Next time promosiin IG gue, ya. Biar endorsement masuk." Ucapan Naya hanya dibalas putaran bola mata malas.

Abang cilor yang dari tadi bingung, akhirnya bertanya, "Kakak dan Abangnya pesen cilor yang mana?"

"Yang pedes level 7, Bang. Gue suka hidup yang penuh tantangan," kata Naya sambil melirik Raga. "Termasuk ngobrol sama orang yang ekspresinya kayak patung lilin di museum Madame Tussauds."

Raga mengangguk ke abang cilor. "Sama. Cuma bedanya saya level 3. Saya realistis. Bukan pencari sensasi."

Naya melongo. "Wah, ini cowok dinginnya kayak es batu, tapi nyelekitnya kayak cabai rawit. Kombinasi bahaya nih."

"Terima kasih," balas Raga singkat.

"Eh, dibilang bahaya kok malah terima kasih? Ini orang ngerti sarkas nggak sih?"

Adhisty tertawa, tampaknya menangkap energi lucu-lucu absurd dari dua orang dewasa ini. Dia menepuk pipi Raga sambil menunjuk Naya.

"Buna lucu."

Raga menoleh ke Adhisty. "Iya, lucu, tapi aneh."

"Woy!" Naya jengkel. "Aneh dari mana? Nih, senyum gue bisa bikin mawar mekar!"

"Atau layu," balas Raga tanpa dosa.

"Wah, ngajak ribut!"

"Berisik, Naya," kata Raga dingin.

Akhirnya, cilor pesenan mereka telah selesai. Naya mengambil pesanannya. Sebelum pergi duluan, Naya menyempatkan diri untuk memberikan ancaman ke Raga.

"Awas lo ya kalo cilor lo lebih enak dari punya gue, gue lapor BPOM. Nggak adil."

Raga santai. "Kalau enak, berarti selera saya bagus. Kalau nggak enak, ya ... selera kamu yang aneh."

***

Amelia Syakira, perempuan dari masa lalu yang pernah menancapkan luka paling dalam di hati Raga. Dulu, dia adalah badai yang mengguncang segalanya—menghancurkan tenang yang susah payah Raga bangun. Kini, tanpa rasa bersalah sedikit pun, dia kembali hadir di hadapan lelaki yang pernah dia tinggalkan, seperti masa lalu tidak pernah terjadi.

Sudah setahun berlalu sejak Amelia pergi meninggalkan Raga untuk Devan. Namun, bagi Raga, luka itu masih segar. Dia tidak pernah benar-benar sembuh. Hari ini, luka itu datang sendiri, berjalan anggun di tengah keramaian taman kota.

Senja di Akhir Batas (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang