Putaran keempat. Cuaca cerah. Langit terang penuh dengan bintang. Tak ada tanda-tanda bakal turun hujan.
Gardu ronda penuh dengan petugas jaga. Kang Sobar juga sudah bergabung di sana setelah disusul oleh dua orang pemuda kawan satu kelompoknya. Dan itu artinya, Yu Ningsih sendirian di rumah sampai nanti kira-kira jam setengah lima pagi, jam kesepakatan ronda harus diakhiri.
“Kenapa harus Babah Aliong?” Yu Ningsih berbaring di dada Kang Narto yang masih penuh dengan peluh. Napas keduanya masih memburu. Malam ini sungguh terasa begitu gerah. Agaknya itulah sebab mengapa kedua orang yang sedang berbaring di ranjang itu tak mengenakan sehelai pun busana.
“Aku ndak tega mau maling di rumah orang-orang kampung kita ini. Melarat semua. Lagipula, ini cuma umpan untuk mengeluarkan suamimu dari rumah setidaknya enam hari sekali.”
Yu Ningsih memukul manja pipi Kang Narto, “Pinter kamu, Kang.”
Kang Narto tertawa penuh kemenangan. Direbahkannya Yu Ningsih ke ranjang.
“Baru jam setengah dua. Bagaimana?”
Yu Ningsih menggeliat, “Seperti biasanya saja, Kang.” Ucapnya lirih disertai dengan desah yang memikat.
Mempawah
Maret 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH-KISAH YANG SUDAH SEHARUSNYA KAU KETAHUI
Short StoryAku akan hadir dengan sisi gelapku di buku ini. Jangan dicela. Jangan dicaci. Jika tak suka, silahkan pergi. BIJAKLAH DALAM MEMILIH BAHAN BACAAN 🙏