11. rooftop

137 26 0
                                    

"jadi gw nggak boleh beneran, ya?"

Akaashi menggeleng, "bukan nggak boleh. Tapi lebih tepatnya nggak bisa. Terlalu sulit buat menyatukannya."

"Gw cuma mau nyelametin lu, padahal. Api neraka itu panas, lho!" Kata Bokuto masih kekeuh sama argumennya.

"Biarin aku memilih, kak. Ini yang aku percayai, jangan paksain kehendak kakak buat aku. Sebatas teman aja emang nggak cukup?"

Giliran Bokuto yang menggeleng. "Gw maunya lu jadi pacar gw. Mungkin lebih baik lagi kalo sampek jadi istri."

"Kak!" Sentak Akaashi, yang buat Bokuto kaget. "Jangan paksain kehendak kakak, mau itu sama aku atau sama orang lain. Belum tentu orang lain setuju sama kehendaknya kakak, yang ada kakak malah bakal di benci kalo terus-terusan maksain kehendak gitu. Kakak nggak mau, kan, di benci cuma gara-gara suka maksain kehendak?"

"Aku sendiri juga nggak suka, kalo kehendakku di tolak sama orang lain. Tapi aku masih mikirin orang lain itu juga. Hidup nggk semata-mata tentang menuruti keinginan kamu doang."

Istirahat makan siang ini, Bokuto habiskan di rooftop bareng sama Akaashi. Tapi sebenarnya bukan siraman rohani yang Bokuto mau, malah dapet ceramahan. Mutu sih ada, cuma Bokuto nggak mau ambil.

Ceritanya tadi, pas bel istirahat tepat berbunyi. Bokuto langsung kebelakang, tepatnya ke kelas dua. Mau nyamperin adek kelasnya yang imut bingits, di ajak makan siang di tempat spesial. Dan tempat spesialnya ada di rooftop. Yang kebetulan lagi sepi. Biasanya banyak anak yang ke atas pas istirahat, jadi aneh aja kalo tiba-tiba sepi kea gini.

Setelah makan siang, Bokuto melancarkan aksinya yang kemaren udah dia diskusiin sama Kuroo. Walau mereka sama-sama kehalang, tapi Bokuto lebih nekat dari yang kalian kira. Nyatanya, dia berani ngajak Akaashi pacaran, meski dia tau kalo bakal kehalang sama keyakinan.

Akibatnya, Akaashi jadi marah sama Bokuto. Dan Bokuto ikutan marah sama Akaashi.

"Gini deh, kak. Kalo kakak punya empat apel, terus diminta semua sama kak Kuroo secara paksa. Kakak bolehin nggak?" Tanya Akaashi berusaha menjelaskan. Boleh menjelaskan, tapi nggak usah bawa bawa matematika anjir, tau sendiri Bokuto lelet kalo soal matematika.

"Ya nggak gw kasih, lah. Apel gw masa diambil sama Kuroo." Jawab Bokuto.

"Nah, sama kayak aku tadi. Kalo kakak ambil aku paksa, aku juga bakal marah sama kakak. Apalagi tuhan, kalo dia nggak maafin aku gimana?"

"Nggak tau, ah, pusing! Padahal niat gw mau ngajak lu pacaran, malah lu kasih teori yang nggak guna." Gumam Bokuto yang nggak sepenuhnya jadi gumaman semata.

"Kalian mirip banget, cuma beda perlakuan dan sifat aja. Aku jadi bingung, jangan-jangan kalian masih punya hubungan keluarga lagi." Batin Akaashi. Nggak sengaja, ingatan tentang seseorang masuk ke pikiran Akaashi yang membuatnya diam melamun.

Bel masuk berbunyi, dan Akaashi meninggalkan Bokuto yang ngomel sendiri di ujung pembatas. Akaashi nggak khawatir, karena dia tau Bokuto kayak gimana. Nggak mungkin juga Bokuto lompat dari sana soalnya.

"Aku rindu sama dia, tapi selain rindu, aku juga takut kalo ketemu sama dia. Semoga 'kita' nggak pernah ketemu lagi, selamanya." Batin Akaashi saat turun dari rooftop.

.

.

.

"Kenapa? Gw nggak ada salah, kan sama lu?"

Iwaizumi menggeleng pelan, lalu berjalan ke kelasnya. Abis dari kantin, dia di ikutin terus sama Oikawa. Berhubung kelas mereka agak jauh dari kantin, jadi jalannya harus Cepet.

Garis TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang