15. lebih sakit

153 21 6
                                    

Nggak tau kenapa, hari ini Oikawa keliatan lebih lemes. Nggak kayak biasanya--yang kepenuhan energi. Apa gara-gara abis di palak, sama preman kecil gangnya? Karena dulu pernah, Iwa sama Oikawa di cegat sama preman cilik.

Bahkan, pelajaran matematika kesukaannya juga nggak di peduliin sama dia. Karena saking terlarutnya sama pikiran.

"Huuuh." Udah ketiga kalinya iwaizumi mendengar helaan napas Oikawa. Membuat dirinya jadi penasaran setengah mampus. Ada gerangan apakah dengan cowok yang menyandang status sebagai pacarnya ini.

Puk

Tangan iwaizumi mendarat di kening Oikawa. Memastikan suhu tubuh cowok itu nggak tinggi, dan menarik tangannya lagi setelah dirasa cukup. Iwa bergumam sendiri, setelah menarik tangannya dari kening Oikawa.

"Kenapa?" Tanya Oikawa penasaran. Iwa menoleh lalu memicingkan matanya.

"Harusnya gw yang tanya kenapa. Kenapa lu kok lesu gitu? Padahal nggak panas."

"Nggak papa, cuma merenung sama mikirin sesuatu doang," jawaban Oikawa tak lantas memberi kepuasan buat Iwa.

Mengabaikan guru yang lagi jelasin materi, Iwa memilih menghadap ke cowoknya. Mencoba lembut lebih dari biasanya. Mungkin aja Oikawa lagi butuh belaian.

"Kenapa? Cerita sama gw," tanya Iwaizumi lembut. Dan tetep kayak tadi, cuma di jawab dengan gelengan kepala sama Oikawa.

"Wa, gw tau lu dari kecil. Gw udah apal sama gelagat lu kalo lagi bingung dan stres. Sekali aja, cerita sama gw. Lu juga kalo gw ada masalah selalu maksa gw buat cerita, kan. Sekarang gantian, gw mau lu buat cerita sama gw."

"Bukan masalah penting, kok. Nggak perlu di ceritain."

Iwaizumi hanya menatap Oikawa tajam, dan berhasil bikin Oikawa menghela napasnya lagi. Tapi kali ini helaan napas pasrah. "Ntar pas pulang sekolah, gw ceritain semuanya. Nggak sekarang."

"Okey, gw pegang ucapan lu."

.

.

.

Siang terlampaui, dan sore menjemput. Di dalam sebuah kafe--yang agak rame--duduk sepasang kekasih yang lagi bercanda ria. Ditemani sama secangkir teh dan camilan kue kering, si gadis terlihat agak canggung. Bukan pertama ini Kitashin duduk berdua sama Suna yang adalah pacarnya. Tapi tetep aja, rasa canggung masih melekat di dirinya.

"Kalo gitu, emang agak rumit, sih. Aku sendiri belum pernah ngadapin yang kayak gini. Padahal aku yang anak sulung."

"Makanya itu, terlebih lagi aku anak tunggal. Nggak ada yang bisa aku percaya selain diriku sendiri."

"Tapi bang bok, kan ada. Kenapa nggak kerja sama aja sama dia." Usul Suna.

"Kayak kamu nggak tau Bokuto aja. Di kasih satu lembar grafik aja dia langsung kabur, apalagi yang tumpukan."

Suna nyengir kuda, ngerasa salah berucap. Padahal dia kenal banget sama sifatnya Bokuto. Tapi ya kan reflek, jadi ya nggak sadar kalo dia nyebut Bokuto.

Mereka berdua lagi bicarain tentang bisnis neneknya Kitashin yang dapet job gede. Karena Kitashin belum bisa ngelola, dan neneknya nggak memungkinkan buat ngelola--karena kondisi kesehatannya--jadilah Kitashin mengalami dilema. Bisa aja dia serahin ke omnya--ayah Bokuto--biar di kelola dulu. Tapi dia juga mikir, omnya bisa bagi waktu apa nggak. Terlebih omnya juga lagi garap proyek yang lumayan gede.

"Kamu ambil aja, by. Biar aku bantuin."

"Yakin? Kamu sendiri juga banyak kerjaan lho. Bisa emangnya bantuin aku?"

Garis TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang