Teman Lama

26 5 0
                                    

Setelah kami pergi jauh dari ruang lantai bertanda darah tersebut. Kami bertekad, bahwa kami tidak akan pernah  memasuki gedung tersebut lagi, sampai kapanpun.

Sehingga diluar bangunannya, kami menandai ranting pohon yang kami tanam dihalaman depan bangunan sebanyaknya, agar orang-orang yang paham mengetahui bahwa gedung ini terlarang untuk dimasuki.

"Kini aku paham, apa arti tanda darah melingkar pada dinding. Dan lain berikutnya tidak akan ku masuki, bahkan setelah mayatnya hilang sekalipun." Aku bertekad untuk berhati-hati kali ini.

"Aku harap kita semua tidak membocorkan hal ini. Aku sungguh tidak mau mengangkat  mayat bau itu. Sungguh menyeramkan dan aku pastikan akan tidak makan seumur hidupku."

Perjalanan berikutnya kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dekat dengan tepi sungai mengalir di arah barat. Dan jauh dari gedung tersebut.

Aku duduk bersandar pada pohon berbuah asam. Di atas pohon terdapat Mesha yang ku anugerahkan sebagai si badung kedua setelah Yomna. Ia menaiki pohon di atas ku. Tanpa tahu jika ia memakan buahnya akan merasakan asam berlebih pada alat pengecapnya.

"Mesha, coba beri aku satu buah yang besar. Jangan seolah-olah kau tidak memperhatikanku, akan ku jatuhkan kau nanti."

Astaga, Tirsa rupanya tidak tahu apa yang sedang dimintanya.
Sehingga Mesha menjatuhkannya untuk Tirsa, dan aku serta Yomna hanya bermain mata sambil menyimpulkan senyuman.

Mesha pun menyantapnya, dan ia terkejut sehingga menjatuhkan buah tersebut. Dan lucunya, buah tersebut mengenai kepala Tirsa, sambil ia berteriak ASAM dengan lantang. Tirsa lalu panik kesakitan dan melemparkan buah yang digenggamnya ke arah Mesha dengan mengumpatkan kata "SIALAN".

Aku dan Yomna tergelak tawa melihat kekonyolan mereka berdua.
Dan setelah itu aku memperhatikan Yomna yang  memandang sedih dihadapannya. Ia nampak melihat sesuatu, dan ia berlari setelahnya meninggalkan kami.

"Yomna, mau kemana kau?"

Aku mengejarnya, mengikutinya masuk kedalam hutan dan melewati semak belukar.
Ia nampak berteriak memanggil "BU", atau "TUNGGU", tidak begitu jelas kudengar.

Mesha dan Tirsa tidak menanggapi serius, sehingga ia menyusul kami belakangan.

"Yomna."
"Mau kemana kau? Apa yang kau lihat?"

Akan tetapi, aku kehilangan jejaknya.

Aku terus meneriaki namanya, dan mencari ke sekeliling.
Tirsa dan Mesha menemuiku, dan bertanya kemana Yomna. Aku hanya menaikan kedua bahuku.

Hingga akhirnya Yomna berlari mendatangi kami, dan dari wajahnya nampak panik dan bingung.

"Yomna."

"Sadar, Yomna. Ada apa? Apa yang kau lihat?"

Dengan nafas tersengal, ia berkata jika ia mendengar suara wanita memanggilnya.

"Wanita itu, aku melihatnya dihutan dari arah sungai. Ia mengatakan jika aku adalah anaknya." terangnya.

"Sadar Yomna, kau hanya berhalusinasi. Kau butuh banyak minum air agar terhidrasi".

"Kita menuju sungai, airnya bisa diminum mentah. Selepas ini kita kembali saja ke hunian. Daripada menghasilkan penyakit, sebaiknya kita beristirahat." saran Tirsa yang aku setujui pula.

Kami kembali duduk di tepi sungai, sementara Yomna pergi ketengah sungai dangkal untuk menyicipi air mengalirnya yang menyegarkan. Aku harap akan baik-baik saja.

Keadaan sudah sore, kami pulang hanya mengumpulkan beberapa ikat kayu bakar. Setidaknya kami membawa sesuatu yang berguna selain benda yang tidak dapat kami temukan.

Yomna langsung pamit untuk beristirahat setelah kami sampai di hunian.
Aku bersama Tirsa menaruh beberapa ikat kayu bakar ke sebuah ruangan alat masak.

Aku segera pergi beranjak, namun Tirsa membegal jalanku. Dan ia masih kepo mengenai apa yang tadi dilihat oleh Yomna.

"Aku penasaran siapa Ibu kandungnya Yomna. Kau tadi melihatnya juga kan?"

Astaga anak ini, aku tidak tahu menahu. Bahkan yang kudengar, Yomna mengatakan jika ada seorang wanita yang bilang jika ia adalah anaknya. Padahal Tirsa juga dengar.

"Sudahlah, aku tidak ada urusan mengenai itu. Dan kupastikan kepadamu, jika Yomna hanya kelelahan. Sehingga ia berhalusinasi" pungkasku. Dan setelah itu aku beranjak pergi meninggalkan Tirsa dengan kekepoannya. Daripada dia terus-terusan bertanya, lalu beralih menanyai mayat wanita itu. Lebih baik ku pergi menjauh.

Hari ini, kelompok suku kami kedatangan tamu dari kelompok sebelah. Dimana sang ketua kelompok berbincang-bincang bersama Ayahku.

Dan aku kedapatan bertemu dengan sahabat antar suku, gadis manis yang pemberani bernama Ranaya. Ia masih mengenalku dengan tutur sapanya.

Aku berkesempatan untuk mengajaknya berkeliling ke sekitar untuk melihat-lihat. Seperti dulu-dulu waktu kami bertemu saat berusia kecil.
Kini ia beranjak besar, dan tingginya hampir semapai dengan tinggi badanku.

"Kau nampak menyamai tinggi tubuhku."
"Namanya mahluk hidup pasti akan berkembang searah umur beranjak. Aku kira kau sudah lupa terhadapku." ujarnya. Membuatku sanggup jika terus berada disisinya.

"Dulu hutan ini belum selebat seperti sekarang. Dan kau ingat? Kau pernah menunjukkanku pohon anggur mungilmu disisi bangunan." ia bertanya bagaimana dulu aku menunjukkannya tanaman anggur kecil, yang kini besar malah menjadi tempat bersaingku dengan Yomna.

"Pohon anggur itu masih ada, dan kini ia tumbuh besar seiring berjalannya waktu. Dan malah aku jadikan tempat bersaing bersama teman-temanku. Hehe."

"Bisa kau tunjukkan nanti? Setelah kau mengajakku mengitari sisi koloni?"

"Tentu saja, aku akan antar dan mencarikan buahnya untukmu, kau pasti menyukainya. Tentu, kupastikan disana banyak penunggunya. Yomna temanku selalu menunggunya tiap saat, padahal aku berpesan kepadanya untuk tidak mengambil alih pohon anggurku. Tapi malah pohon itu kini jadi milik bersama. Cukup disayangkan sih sebenarnya, karena Ayahku diam-diam suka menyelinap ke dapur memakan buah anggurku yang ku titipkan kepada Ibuku"

Ranaya tertawa kecil mendengar apa yang kusampaikan. Bahagialah aku melihat senyuman indahnya kembali. Setelah penantian berlama-lama, dan dipertemukan kembali saat kunjungan antar koloni.

Aku pun kembali melanjutkan perjalananku bersamanya mengelilingi koloni kami. Karena setelah ini, aku akan mengantarnya menuju pohon anggurku yang sudah di hantui oleh Yomna dan Kerni, juga si badung kedua.

100 Tahun SetelahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang