Sejujurnya aku ...
__________
Di hari pagi yang cerah serta disambut burung berkicau ini. Tentu Blaze awalnya merasa bersemangat.
Untuk menemui sang kekasih yang berada di dalam kelas awalnya. Namun ternyata pagi ini, [Name] tidak berada di kelas. Meski tasnya menunjukkan bahwa [Name] sudah datang lebih dulu.
Blaze berinisiatif bertanya pada yang lain. Beberapa bilang tidak tahu pasti. Hanya melihat [Name] keluar sehabis meletakkan tasnya di bangku pagi ini.
Blaze tidak langsung menyerah. Ia berjalan keluar kelas dan memikirkan kira-kira kemana [Name] berada.
Blaze sama sekali belum mengetahui apapun tentang [Name]. Menjadi sepasang kekasih bukan berarti mereka saling berbagi rahasia dan kegemaran. Meski [Name] mungkin mengetahui beberapa hal dari Blaze.
"Duh, dimana ya? Apa [Name] jajan pagi-pagi ini? Tapi ga mungkin deh." Ia bergumam sendiri. Kepayahan untuk menebak kira-kira dimana [Name] berada.
Blaze menghentikan langkahnya di depan perpustakaan. Menurutnya, [Name] bisa saja ada disini. Orang serajin [Name] tentunya akan melakukan ini di pagi hari.
Blaze membuka pintu perpustakaan dan masuk ke dalam dengan sunyi. Hanya ada penjaga perpustakaan yang sepertinya sibuk menginput data dalam komputer kerjanya.
Blaze masuk lebih jauh. Tak lupa melihat satu-persatu buku-buku yang berjejer rapi di rak buku.
"Sejarah, ekonomi, novel ..." Matanya melirik ke sana kemari. Lalu saat berada di ujung ruangan yang merupakan jendela besar. Ia bisa melihat kursi-kursi dan meja yang biasanya menaungi murid-murid yang hendak membaca buku dengan tenang disini.
Dan di sana, Blaze melihat sosok [Name] yang terlelap di meja sambil memegang sebuah buku.
Blaze tersenyum. Langsung saja menghampiri dan duduk di hadapannya.
Pancaran sinar mentari terasa menghangatkan atmosfer ruangan. Blaze memandang [Name] tanpa berniat untuk membangunkannya.
Melirik buku yang dipegang oleh [Name]. Buku itu tentang psikologi kemanusiaan. Blaze kurang mengerti tentang buku itu. Tapi sepertinya ini juga penting untuk dipelajari.
Di sela-sela heningnya. Blaze kemudian mengulurkan tangannya. Mencoba untuk menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah [Name].
Plak
Blaze terkejut. [Name] terbangun dengan raut panik. Keduanya saling memandang sebelum akhirnya [Name] membuka suara. "Ah ... maaf."
"Tidak apa-apa, hehe." Blaze menarik tangannya kembali ke bawah meja. Tangan yang sempat ditepis [Name] itu ia pegang. "Sudah bangun rupanya."
"Yah ... maaf sudah menepis tanganmu." [Name] merasa bersalah. Namun Blaze terus menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, salahku karena menyentuhmu tanpa izin."
[Name] diam-diam hanya tersenyum tipis saja.
"Ah, aku ketiduran terlalu lama. Sepertinya kita harus kembali ke kelas." [Name] bangkit serta membawa bukunya.
Grep
Blaze menarik tangan [Name] dan menahannya. [Name] kaget dan menoleh ke arah Blaze. Blaze sendiri kaget karena refleks menarik tangan [Name] begitu saja tanpa ia sadari.
"Ah, maaf!" Blaze langsung melepaskan tangannya.
Hening menerpa sesaat. [Name] kembali berjalan tanpa sepatah kata apapun. Diikuti Blaze di belakang tanpa bersuara.
Canggung tiba-tiba.
Apa ini karena mereka berdua saling tidak mengenal satu sama lain?
Alasan dada Blaze berdebar pagi ini bukan karena melihat senyuman [Name]. Tapi takut akan sesuatu.
Takut ia kehilangan sesuatu hanya karena ia tidak tahu apa itu.
Sosok [Name] dan punggung tegapnya itu. Membuat Blaze kadang berpikiran hal-hal yang harusnya tidak perlu dipikirkan.
Apa Blaze benar-benar mencintai [Name]?
.
.
• Bonus •
"Kenapa diam aja, lapar?"
"Iya nih, kok kamu tahu?"
"Makannya nanti aja, sekarang sudah jam masuk."
"Hah? Beneran? Aku belum sarapan akh!"
__________
... takut perasaan ini palsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Darling || Boboiboy Blaze [End]
Fanfiction╭┈─────── ◌ೄྀ࿐ ˊˎ- ╰┈─➤ ❝ Ethecismus Project ❞ ❝ BoBoiBoy Blaze X Kuudere Fem!Reader. ❞ ┊ Punya pacar yang dingin? Mari kita lihat, mungkin terdengar menarik, tapi tentu saja ada tantangan tersendiri. Bagaimana kalau ia punya sisi lain yang terliha...