Ayah dan Pesawat

43 6 0
                                    

Bicara perihal menaiki burung besi ini, aku sadar bahwa pengalaman pertamaku dalam menaikinya adalah bersama Ayah. Hanya bersama Ayah. Saat itu kami akan pergi ke Surabaya. Ayah mengantarku ke rumah sepupu untuk menghabiskan sisa liburan. Rencananya aku akan menginap di sana selama beberapa minggu. Kalau tidak salah ingat, sih...

Lucunya, pada pengalaman pertama ini, aku mengalami kejadian yang sebenarnya agak traumatis. Entah karena tekanan udaranya yang mendadak tinggi, aku yang tengah pilek dengan hidung tersumbat ingus harus mengalami kejadian pahit ini. Ya, gendang telingaku tiba-tiba terasa sakit. Seakan-akan ada jarum yang menusuk-nusuk bagian dalam telingaku dan itu rasanya naudzubillah sakit sekali. Saking tak tahan dengan rasa sakitnya, aku menangis. Bodohnya tangisku itu malah membuat rasa sakitnya semakin terasa menyiksa. Gila. Kalau bisa turun, aku milih untuk segera turun dari pesawat itu. Namun, sayangnya gak bisa.

Ayah yang melihatku menangis kesakitan jadi kelimpungan. Tidak ada yang dapat dilakukan, bahkan oleh pramugari sekalipun. Akhirnya, Ayah hanya mendekap diriku yang tengah menangis jelek dengan sangat erat. Sesekali menenangkanku yang terus merintih kesakitan. Tangannya menepuk-nepuk pelan kepalaku dan mengusap rambutku lembut. Meskipun begitu, sakitnya tidak kunjung hilang. Ayah terus mendekapku hingga rasa sakitnya berangsur hilang dan pesawat sepertinya akan segera mendarat di Juanda. Yah, untung saja itu bukan perjalanan pesawat yang teramat jauh. Hanya satu jam lebih perjalanan dan telingaku untungnya aman-aman saja. Tidak berdarah-darah seperti bayanganku saat merasakan sakitnya (lebay).

Pengalaman pahit itu tentu membuatku selalu waspada setiap akan naik pesawat (lagi). Pokoknya aku bertekad kalau akan naik pesawat, maka usahakan tubuh dalam keadaan yang fit dan tidak sedang sakit terutama pilek dengan hidung tersumbat. Bahkan, aku suka reflek bernapas melalui mulut saking tidak ingin merasakan bindeng atau kesakitan yang menyerang telinga. 

---Yah, untung tidak pernah lagi. Allhamdulilah. Soalnya kalau sampai terulang lagi, aku harus menghadapinya sendirian mulai kali ini.

____________________________________

16 Juli 2021. Tulisan ini sudah lama aku posting di salah satu akun Twitterku. Rasanya tidak lengkap bila tidak aku pindahkan ke sini karena sesingkat apapun isi tulisannya, ini tetap menceritakan sedikit kisahku bersama Ayah semasa hidupnya.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ayah dan Gadis KecilnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang