Lima - A

1.1K 186 59
                                    

Si bos ngeyel. Dibuntutin juga gue sampai kos-kosan. Kale kalau lagi gabut gini amat ya? Emak bapaknya kemana sih? Anak kampretnya lepas diem bae gak dicariin, masa iya gue yang musti jadi baby sitternya seharian ini, nyebelin.

"Gak ada jalan lain?" Kale susah payah menghindari lubang menganga yang banyak dijumpai sepanjang jalan itu.

Kita terpaksa jalan muter agak jauh, dan mobil Kale harus ditinggal diparkiran ruko-ruko belakang sana untuk kemudian diambil orang suruhannya, berhubung jalan depan kosan gue lagi ada proyek galian PDAM, aspal yang tadinya mulus jadi berantakan dipenuhi gundukan tanah berbatu dan pipa-pipa besar. Gue was-was aja mobil mewah Kale bakalan beret-beret kalau ditaruh sini, untung doi mau denger saran gue.

Apalagi jalanan yang kita lewati becek parah karena semalaman hujan deras. Terpantau pejalan kaki atau pengendara baik motor dan mobil harus sangat hati-hati karena keadaan jalan yang licin dan berlubang. 

"Ada lewat atas, tapi bapak harus bisa terbang, aduh...." Gue gak sengaja nginjek batu dan sempat terhuyung, untung gercep pegangan lengan Kale jadi gak sampai terjerembab jatoh.

"Mau saya gendong, Kanis?" tawarnya sok baik.

Gue jawab dengan jengah, "Pak, saya cuma kesandung bukan lumpuh."

"Ah kamu selalu nolak kebaikan saya,"

"Bapak pamrih soalnya, saya ogah ambil resiko." Balas gue sekenanya.

"Kamu sendiri juga pamrih, dikit-dikit minta bayaran sama saya. Masa nemenin jalan aja dihitung tarifnya per jam?" Kale malah balik nyerang gue.

"Oh bapak gak ikhlas?" Gue tantang balik. 

"Ikhlas Kanis, ikhlas. Kenapa sih kamu selalu negatif thingking sama saya?" Kesel banget kalau Kale bermuka manis seperti ini.

"Karena bapak gak bisa dipercaya," Jawab gue enteng.

"Apa tepatnya hal yang bikin kamu susah percaya sama saya?" Matanya menilisik gue.

"Bapak selalu memandang perempuan hanyalah sebuah objek, dan saya sendiri juga seorang perempuan. Saya keberatan kaum saya dipandang serendah itu." Gue gak bisa ngerem mulut.

"Ibu dan adik saya kebetulan juga perempuan, apakah saya juga memandang mereka serendah itu?" 

"Coba tanya pada diri bapak sendiri. Saya yakin bapak sudah mengerti tanpa saya kasih tahu..." Setelah ngomong pedes langsung gue tinggalin dia jalan duluan, dengan gesit melewati tanah-tanah becek seolah bukan masalah besar untuk gue yang dibesarkan di wilayah pegunungan. Sebaliknya Kale macam kesusahan melangkahkan kakinya yang mengenakan adidas running shoes sehargapuluhan juta. Sempat dia terjebak di kubangan lumpur yang liat dan lengket, alas sepatunya sampai jeblok dua-duanya. 

"Haha rasain!" Ketawa gue kenceng banget.

"Kanis, tunggu!" Kale pasang muka jijik ngeliat sepatunya jadi korban proyek.

"Saya buru-buru, Pak! Kebelet. Hati-hati ya pulangnya!" Gue cuma noleh sekali sambil terus jalan. Rasain gak tuh, gue ogah bantu. Masa urusan sepele gitu gak bisa menangani sendiri. Dia laki-laki yang selalu membanggakan kejantanannya, malu lah sama tytyd.

Akhirnya setelah dicongkel-congkel pake kerikil dan nyeser-nyeser pada batang pohon, Kale pun terbebas dan segera berlari menyusul gue yang jaraknya sudah lumayan jauh.

"Kenapa ya saya gak bisa bener-bener marah sama kamu?" Ujarnya setelah berhasil menyamakan langkah dengan gue. Nafasnya samasekali gak ngos-ngosan yang menandakan tubuhnya memang bugar dan fit, terbukti otot-ototnya itu dibuat dengan kerja keras dan kesungguhan dalam berolahraga, bukan hasil suntik silikon.

Boss BabeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang