Sebelum masuk ke Prolog, dengar lagu di bawah ini dulu, yuk!
Kalau udah selesai, mari mulai masuk ke dalam kisah Prisa dan Bariq.
Selamat membaca.
Semoga suka, ya!
*
Ini nyata.
Benar-benar nyata.
Remasan jariku di pegangan tas berlapis kulit kian mengerat. Sejak berhasil melewati malam terakhir di sini, di rumah kami, aku bertekad tidak akan meneteskan air mata sedikit pun. Setidaknya tidak di hadapan sosok pria yang sekarang tengah memasukkan koper terakhirku ke dalam bagasi mobil.
Punggung bidangnya sedikit membungkuk. Bisa kutebak, pasti dia tengah memeriksa isi bagasi untuk yang terakhir kali. Bariq Arrayan selalu begitu. Selalu teliti dalam banyak hal, terkecuali dalam hal memahamiku.
Pria berambut pendek yang disisir rapi tanpa belahan, bergerak perlahan untuk memutar arah tubuhnya dan berhenti begitu menemukanku. Angin pagi tiba-tiba meniup dari sisi samping. Membuat ujung rambutnya yang sedikit ikal menutupi pandangannya. Bariq menyugar sekilas, tanpa melepaskanku dari radar.
"Tumben, pakai tas kecil."
Tas? Oh, ini.
Mataku jadi tertuju ke arah objek yang dipertanyakan. Kemudian, aku tersenyum. Agak terharu karena dia menyadari bahwa pilihanku berbeda pagi ini.
"Perubahan kecil untuk memulai hidup baru," jawabku yakin.
Bariq mengangguk dan tersenyum tipis.
"Hm ... sebenarnya nggak, sih," aku kembali berkata. "Kata dokter, aku harus mengurangi beban di pundak. Makanya jadi ganti tas yang lebih kecil."
Alis tebal Bariq terangkat seketika. Disusul oleh keningnya yang mengkerut. "Kamu sakit, Sa? Kenapa nggak bilang sama aku?"
"Udah. Aku udah bilang, mungkin kamu yang lupa."
Aku masih berusaha tetap tersenyum untuknya ketika menyadari bahwa perasaan janggal ini terasa lagi. Pembicaraan ini terulang lagi. Selama setahun terakhir sudah ratusan kali Bariq menanyakan hal yang sama.
Kenapa enggak bilang sama aku?
Dulu aku selalu memberitahunya mengenai apa pun. Tidak ada rahasia di antara kami. Dulu dia selalu mengingat setiap perkataanku. Namun, sejak setahun terakhir Bariq jadi pelupa. Aku sempat curiga dia mengidap tumor otak. Bahkan berpikiran mengajaknya ke dokter untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh.
Hingga aku sadar kalau kekhawatiranku itu terlalu berlebihan. Bariq tidak sakit. Dia tidak melupakan jadwal tenisnya. Tidak pernah satu kali pun. Dia juga selalu mengingat sampai hal terkecil dan mampu menceritakan secara detail ketika aku tanya mengenai yang terjadi di lapangan. Bariq hanya lupa pada ucapanku.
Kepalanya menunduk selama beberapa detik, kemudian dia kembali mengangkat pandangan dan menatapku begitu lekat dari jarak puluhan sentimeter.
"Aku ... minta maaf, Sa."
Kali ini dia tidak mencoba menjangkauku. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Ketika dia menangisi keputusanku untuk berpisah, atau ketika memohon diberikan kesempatan sementara aku berdiri bergeming tanpa melemahkan argumen.
"It's okay. Aku udah maafin kamu, Bar. Lagi pula, aku yang lebih bersalah. Aku udah—"
"Nggak, Sa. Kamu nggak salah. Kamu berhak hidup bahagia. Kamu harus bahagia. Jangan merasa bersalah lagi. I'm okay now."
Aku kembali mengulas sebuah senyum. Bariq pun melakukan yang sama. Perpisahan ini layak diakhiri dengan baik.
"So, jaga dirimu baik-baik, Bar."
Aku mengulurkan tangan ke arahnya. Pria yang kini sudah berstatus sebagai mantan suamiku, ikut menjulurkan tangan dan meraih serta meremas tanganku. Dia terasa hangat, selalu hangat.
"Kamu juga. Salam buat Mama dan Papa, ya?"
Aku mengangguk kecil. Ingin sekali lagi menikmati rupanya untuk yang terakhir kali. Bagai cuplikan film pendek yang dipercepat, kenangan yang terjadi selama bertahun-tahun mengenalnya terputar jelas di ingatan.
Aku pernah sangat mencintainya. Bahkan mungkin masih hingga detik ini. Aku yakin Bariq juga merasakan yang sama. Sorot matanya tidak bisa berdusta. Namun, nyatanya cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan sebuah pernikahan. Butuh lebih dari sekadar cinta untuk menjaga keutuhan hubungan rumit itu.
Dan kini ... aku sudah terbebas. Aku siap melebarkan sayap sejauh mungkin.
"Oke. Aku berangkat, ya. Takut keburu macet banget. Tol arah Bandung kalau Sabtu begini selalu padat merayap."
Tautan tangan kami terlepas. Aku membenarkan posisi tali sling bag di pundak, kemudian mengeluarkan kunci mobil dari dalamnya. Sambil melambaikan tangan, aku berjalan menuju pintu pengemudi tanpa melihat ke belakang.
Begitu berhasil masuk ke dalam mobil, aku segera menekan tombol untuk menyalakan mesin, memasang sabuk pengaman, memeriksa spion luar juga dalam, lalu menurunkan kaca jendela untuk memberi salam perpisahan terakhir. Bariq sudah berdiri di samping mobilku. Dia membungkuk untuk menyamakan titik pandang kami. Sebelah tangannya mendarat di pintu mobil. Keempat jarinya yang menghadapku berhasil mencuri atensi. Dia juga menatapku, begitu dalam.
"Thank you. Thank you, for the years that you've spent with me. Makasih banyak, Sa," ucapnya dengan suara yang seperti tertahan di tenggorokan.
Aku hanya mampu menganggukkan kepala dan mengangkat kedua sudut bibir, sebelum memberitahunya lewat tatapan mata kalau kali ini aku benar-benar akan pergi.
Bariq melepas cengkeraman tangannya, lalu mundur selangkah. Sorot matanya tidak pernah bisa berbohong. Dia akan menangis sebentar lagi.
Maka dengan agak tergesa, aku memasukkan persneling dan menekan pedal gas secara perlahan. Mobilku mulai bergerak. Tanganku melambai sekali lagi ke arahnya. Dia membalas, matanya berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Aku terus tersenyum tenang hingga pantulan sosoknya di kaca spion makin menjauh dan mengecil.
Saat bayangan pria itu sudah tidak terlihat, pertahananku pun runtuh seketika. Aku menangis dan terus menangis sampai tersengal. Cengkeraman kedua tangan di kemudi makin mengerat. Seolah inilah satu-satunya pegangan yang kupunya. Sementara dadaku berdenyut tanpa henti. Menekan-nekan hingga membuatku sulit menarik napas.
Hah ...
Ada apa denganku?
Bukankah ini yang aku inginkan?
Ingat kata-kata Bariq, Prisa.
Kamu harus bahagia.
Ya, aku harus bahagia.
to be continued
***
Baru prolog udah nyesek.
Perpisahan memang nggak pernah mudah. Apalagi berpisah sama orang yang sebenarnya masih dicintai.
💔
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to Back (TAMAT DI CABACA)
RomanceAcara reuni kembali mempertemukan Prisa dan Bariq setelah resmi bercerai setahun yang lalu. Situasi canggung tidak dapat terelakkan. Bahkan sapaan sederhana membuat mereka salah tingkah. Hingga suatu ketika, secara misterius keduanya terbangun bersa...