2 - What They Really Want

104 27 10
                                    

- HAPPY READING -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- HAPPY READING -

Jika tidak menyukai apa yang kupilih, setidaknya Mama tidak perlu mengomentari panjang lebar seperti ini. Aku tahu seharusnya bisa berpakaian lebih baik, atau lebih berwarna dengan potongan yang menonjolkan lekuk tubuh. Bukan kaus polos berwarna krem yang kumasukkan ke dalam rok plisket hitam pekat, tanpa tambahan aksesoris sama sekali. Rambut pun kubiarkan tergerai begitu saja. Namun, inilah yang membuatku nyaman, dan aku sangat membutuhkan perasaan itu meski dalam hal terkecil.

Andai saja Mama tahu. Kalau hingga detik ini masih ada rasa takut yang membuatku ingin membatalkan rencana. Terutama karena aku tidak yakin akan bisa mempresentasikan bisnisku secara luwes di depan teman-teman nanti. Aku juga masih belum siap mendengar pertanyaan demi pertanyaan mengenai masa laluku bersama Bariq. Terutama, alasan mengapa kami bisa bercerai setelah berpacaran sangat lama dan selalu terlihat bahagia.

Haruskah aku batalkan saja? Tapi, aku sudah telanjur menghabiskan berminggu-minggu menyiapkan portofolio dan mempercantik tampilan profil instagram supaya makin meyakinkan. Belum lagi kalau Puput tahu aku batal pergi ke reuni. Bocah satu itu pasti mengomeliku tanpa henti.

"Prisa!"

"Iya, Ma?" sahutku sedikit tersentak, begitu mendengar Mama meneriaki namaku.

Aku kembali memusatkan fokus padanya.

"Prisa. Di mana-mana, acara reuni itu sama kayak ajang mencari jodoh buat yang masih single. Harusnya kamu manfaatin momen itu, dong. Kapan lagi ketemu banyak orang yang setara sama kamu? Memangnya kamu teh mau menjanda seumur hidup? Apa jangan-jangan, kamu berharap ketemu jodoh lewat kerjaan? Tapi setahu Mama, klien kamu rata-rata pasutri semua, kan? Kalau kondisinya begitu, kamu mau nyari di mana lagi? Masa mau sama engkoh-engkoh yang punya toko bangunan? Tolong ya, Prisa. Jangan bikin Mama dan Papa makin malu."

"Ma—"

"Mendingan kamu ganti baju, deh," kata Mama lagi dengan mata yang melirik ke arah jam dinding bulat di dinding ruang tengah, "Masih ada waktu. Mendingan kamu naik ke atas, terus dandan yang benar. Siapa tahu pulang-pulang bawa calon pacar."

"Ma, aku itu belum siap—"

Ucapanku terhenti begitu Mama menggebrak meja makan. Dia memajukan kepala, menatapku penuh amarah. Meski terpisah meja makan, nyatanya perbuatan Mama masih berhasil membuatku memundurkan kepala sejauh mungkin.

"Udah setahun, Prisa! Udah cukup! Bahkan Bariq udah punya perempuan lain. Sementara kamu, masih begini-begini aja. Coba kamu mikir. Mau sampai kapan menyibukkan diri sama kaleng-kaleng cat kamu itu?"

"A, apa?"

Kenyataan menohok itu membuat napasku tertahan di tenggorokan. Aku juga terlampau kaget, karena tidak menyangka Mama masih mencari tahu kabar mantan suamiku sampai sekarang. Mama memang sangat menyukai Bariq sejak kami masih berpacaran. Menurutnya, Bariq adalah menantu idaman. Selalu bisa diandalkan jika ada apa-apa, dan tidak pernah absen membawakan oleh-oleh ketika datang berkunjung ke Bandung.

Back to Back (TAMAT DI CABACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang