Broken

150 5 6
                                    

 Aku berjalan menuju kelas sendirian karena Alif tadi ninggalin aku duluan. Emang sialan banget tuh, tadi siapa yang manggil-manggil suruh nungguin. Eh dia duluan yang ninggalin aku.

 Aku menghempaskan tas-ku dikursi, lalu duduk dan mengecek ponsel ku. Aku selalu merasa tersentuh ketika menatap wallpaper ponselku, disitu foto kami-aku dan Alif- saat kami kelulusan SMP.

 Saat itu dia sedang berada dibelakang-ku dan mencubit pipiku hingga aku merasa kesakitan, dan pipiku memerah karena cubitannya. Tetapi diantara foto lainnya, foto itulah yang menurutku paling lucu, jadilah aku jadikan wallpaper. Ditambah lagi ekspresi Alif difoto itu. Duck lips, so cute.

 Mataku memanas mengingat kenangan kami di SMP. Nyaris saja aku meneteskan air mataku. Kedekatan kami hanyalah sebatas sahabat tanpa melibatkan perasaan, kecuali aku. Seseorang menepuk pundak-ku dan seseorang itu sudah duduk  disamping-ku.

 "Kenapa lo? Mukanya sedih begitu?" tanya Alif sambil kepo melirik ponselku. Buru-buru aku meletakannya ke dalam saku.

 "Kepo! Bukan apa-apa sih." Jawabku asal.

 "Pasti lagi inget si Kelvin mantan lo itu kan?" tebaknya disertai tawa yang tak bisa dia tahan.

 "Kelvin?" tanya-ku sangsi. Oh! Sungguh kalau soal Kelvin itu aku hanya kasihan makanya nerima dia jadi pacar. Setelah sebulan pacaran aku minta putus karena aku merasa nggak ada rasa suka dengannya.

 "Lo belum bisa move on dari dia, Naj?" tebaknya sekali lagi. Dan dia selalu salah total. Tebakan yang buruk gumamku dalam hati.

 "Kepo maksimal lo!" jawabku cepat.

 "Eh. Kok tumben amat manggil-nya elo?" tanyanya heran. Aku mengerutkan dahiku bingung. Aku juga heran.

 "Terserah aku kali. Mau manggil lo-gue kek, aku-kamu kek, that's none of your business." Sambil memutar mata, jengah.

 "Yakan gue nebak! Gue...."

 "Tebakan kamu salah mulu Lif!" sela-ku sambil menjambak rambutnya.

 "Duh..duh... sakit mak! Sakit Naj!" Alif mengaduh sambil berusaha melepaskan jambakanku. Akhirnya aku lepaskan, dia memegangi rambutnya yang aku jambak.

 "Shit! Lo baru aja merusak ketampanan gue. My beautiful hair. Nooo!" teriaknya dramatis. Dia lebay. Sangat lebay. Aku hanya menggelengkan kepalaku frustasi. Namun tiba-tiba saja Alif mendekatkan wajahnya, menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa aku artikan. Aku merasakan itu lagi. Merasakan debar jantungku untuk yang ke-sekian kalinya. Lagi-lagi karena sorot tajam matanya.

 "Naj, menurut lo gue ganteng gak sih?" Aku membelalakan mata bulatku. Tuhan... pertanyaan macam apa itu?

 "Kamu nggak ganteng−" jawabku. "Sama sekali nggak ganteng." Lanjutku dengan cepat.

 Alif mendengus sebentar lalu kembali bertanya, "tapi gue heran kenapa cewek-cewek selalu tebar pesona sama gue. Sampe gue berfikir apa gue setampan itu. Hahaha..." katanya sambil terbahak-bahak dengan pikirannya -yang menurutku- dia terlalu narsis.

 Aku memukul bahunya pelan. "Mungkin aja mata mereka lagi sakit, atau mereka lagi khilaf kali makanya tebar pesona sama lo mulu." Jawabku asal dan aku tak bisa menahan senyumku melihat Alif yang mengerucutkan bibirnya. Kalau saja dia tahu satu hal kalau aku sedang berbohong kali ini. Dia tampan luar biasa. Aku hanya terlalu gengsi mengakuinya. Bisa-bisa dia besar kepala nanti.

 Alif dengan kesempurnaan fisiknya, mata hitam dengan tatapan tajam, bibir merah karena dia jarang merokok. Eventhough dia pernah merokok tapi sekarang nggak pernah lagi. Kalau aku mendeskrepsikan dia nggak ada habisnya. Amanda beruntung memiliki seorang Alif Abraham Bagaskara. Mereka -harus aku akui- pasangan yang serasi, meskipun setiap menerima kenyataan itu jantungku sedikit nyeri.

Lalu bel tanda masuk berbunyi dan Alif pindah ke tempat duduknya, bersama Evan.

*

 Ketika waktu istirahat tiba Aku dan Alif berjalan menuju kantin untuk nyari makan bareng. Dengan tangannya yang betengger dipundak-ku, meskipun sudah aku tepis berkali-kali masih aja ngeyel minta di jambak. Alif berjalan begitu santai dan sama sekali tidak memperdulikan tatapan para cewek yang menatapnya kagum. Terkadang aku sering merasa miris karena Alif sama sekali tidak menanggapi mereka.

 "Sok keren!" Aku mendongakan kepalaku ke wajahnya. Alif menatapku heran.

 "Siapa yang sok keren?" tanya-nya celingukan memandang sekitar, mencari-cari sosok yang aku kira sok keren. Apa dia nggak peka?

"Kamu." Jawabku sambil memutar mata jengah.

 "Kok gue?" dia menunjuk hidungnya sendiri.

 "Lif. Kasian tau mereka pada ngefans berat sama kamu, tapi kamu cuek gitu." Jawabku sambil memandang mereka yang melihat Alif dengan tatapan memuja.

 "ya biar aja sih. Mereka harusnya sadar gue udah taken. I belong to Amanda Sekar Putri." Jawabnya acuh. Tetapi...

Aku merasakan jantungku berdenyut nyeri. Seperti ditusuk jarum tak kasat mata. Apa katanya tadi? I belong to....

 "Alif!" Aku terkaget karena perempuan itu memanggil Alif. Perempuan yang kata Alif adalah miliknya.

Sekali lagi.

Miliknya.

Lalu aku bisa apa?

Jantungku rasanya sedikit... oh bukan sedikit.

Jantungku rasanya sangat nyeri.

*





HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang