XIII. ?

617 45 7
                                    

Aku langsung berlari terbirit-birit menuju lift. Nathan mengerjarku kembali dengan kemeja yang setengah terbuka.

Dengan paniknya aku menekan tombol lift. Setelah pintu lift terbuka, kemudian aku langsung masuk dan menekan tombol lift tertutup.

Pintu lift sudah setengah tertutup tetapi Nathan menahannya agar pintu lift terbuka kembali.

Aku hanya bisa menangis di pojokkan lift sambil duduk. Aku benar-benar sudah ketakutan setiap Nathan berada didekatku.

"Gue gak bakal ngapa-ngapain lo De..tenang." ujarnya yang sudah memposisikan tangannya untuk memelukku.

"Engga. Lo jauh-jauh dari gue.. Gue takut." ucapku yang sambil merintih ketakukan.

"Gue minta maaf banget De. Gue sama sekali gak sadar kalo gue ngelakuin ini ke lo." ujarnya yang sesekali ingin memelukku tapi aku selalu menolaknya.

Aku sudah tidak bisa berkata apapun lagi. Sudah muak aku melihat mukanya.

Setelah lift terbuka, aku langsung berlari menuju lobby dan sambil mencari taksi.

"Gue anterin aja ya?" tawarnya sambil memegang tanganku.

"Gak." jawabku singkat dan aku langsung melepaskan pegangan tangannya dari tanganku.

Mungkin aku akan menjadi orang paling bodoh jika aku menerima tawaran dari dia.

---

Sekarang sudah pukul 2, pasti Ibu dan Ayahku sudah terlelap dikamarnya.

Dengan langkah yang percaya diri, aku memasuki rumah ku. Gelap..gelap sekali didalam. Seperti tidak ada kehidupan.

Tiba-tiba ada sebuah cahaya yang amat sangat terang sehingga membuat ku kesilauan.

Ternyata cahaya itu adalah cahaya dari lampu yang dinyalakan. Siapa yang menyalakan? Tentu Ibu dan Ayahku, yang sekarang ini sedang duduk disebuah bangku.

Mereka tidak mengeluarkan sepatah kata apapun dari mulutnya. Aku mulai ketakutan. Jantungku berdegup kencang. Sepertinya aku akan di introgasi oleh orang tuaku.

"Jam berapa sekarang De?" tanya Ibu sambil melirik ke arah jam dinding.

"Jam 2.." ujarku ketakutan.

"Tadi kamu janjinya pulang gak malem-malem dan kamu bilang gak akan lama-lama. Kamu habis dari mana?" tanya Ayah yang tak ada hentinya.

"Em..tadi aku ke tempatnya Nathan, cuma ngobrol-ngobrol. Terus aku ketiduran. Jadi pulangnya telat.." jawabku dengan posisi menunduk dan memainkan jari-jari ku.

"Lain kali jangan gini lagi De..bahaya pulang jam segini. Kamu tau kan sekarang lagi jaman nya begal?" cetus Ayahku.

Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Setelah itu aku berjalan menuju kamar untuk tidur.

---

Hari ini Ryana mengajak aku dan teman-teman ku untuk ngumpul bareng dirumah Dinda.

Rumah Dinda itu memang tempat yang paling asik buat ngumpul bareng teman. Ruma bergaya minimalis dan benar-benar menyatu dengan alam.

Tempat favorit kita saat berkumpul di rumah Dinda adalah di tepi kolam renang.

Tiba-tiba Mbok Sri, pembantu rumah tangga dirumah Dinda datang menghampiri kita.

"Ini cemilan nya yak nak.." ujar Mbok Sri sambil membawa nampan berisi kue-kue kering, kue bolu, dan teh hangat.

"Makasih ya Mbok." tutur Dinda.

Sambil ngemil, kita juga sambil bercanda tawa bersama. Memang bahagia itu sederhana, berkumpul dengan sahabat sudah menjadi kebahagiaan yang tiada duanya.

Tapi aku lebih banyak diam. Aku masih memikirkan kejadian semalam dengan Nathan. Masih tidak menyangka Nathan bisa seperti itu.

---

"Lo kenapa dari tadi lebih banyak diem? Biasanya lo paling heboh sama Ryana." ujar Bima.

"Gak papa Bim, lagi gak enak badan aja." jawabku sambil berjalan ke arah pintu gerbang rumah Dinda.

"Pulang bareng gue aja Al, entar kalo ada apa-apa kan gue bisa jagain lo." tawarnya.

Aku sempat bingung harus menjawab apa. Kalau aku pulang bersama Bima, gimana dengan Ryana? Aku tidak ingin hatinya terluka karna melihatku bersama Bima.

Aku belum menjawab apapun tetapi Bima langsung menarikku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.

Bima memakaikan sabuk pengaman kepadaku. Setelah itu ia sempat mengelus tanganku.

Entah apa maksud dia mengelus tanganku seperti itu. Tapi aku tidak begitu menghiraukan perbuatannya.

Saat diperjalanan aku sempat bingung, Bima seperti tidak mengarah ke jalan rumahku.

Tiba-tiba mobilnya berhenti disebuah daerah dekat danau.

"Kok berenti Bim?" tanyaku heran.

Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.

Ia kemudian memutarkan kepalanya ke arah ku dan menatapku dengan tatapan yang tidak biasanya.

Ia seperti memberikan tatapan penuh dengan isyarat. Tapi aku tidak bisa membaca isi tatapannya.

Perlahan ia mendekatkan dirinya kepadaku.

Aku mulai bingung dan panik. Apa yang akan Bima lakukan? Aku sudah sangat tidak bisa seperti ini lagi.

Tiba-tiba tangannya berada di bawah kepalaku dan ia mulai menarikku ke arahnya.

Jarak aku dengan dia benar-benar sangat dekat. Hidungku mulai bersentuhan dengan hidungnya. Dan aku bisa menghirup nafasnya.

➖➖➖

Ini Chapter 13!

Apa yang terjadi selanjutnya antara Aliya dan Bima? Temukan jawabannya di Chapter selanjutnya.

Mohon maaf publish nya telat. Dan sepertinya selama 1 minggu kedepan aku tidak bisa update apa-apa dulu karena aku ada program homestay.

Kemungkinan minggu depannya lagi baru bisa nge-publish Chapter baru.

Don't forget to comment and vote!
Baca juga ya cerita ku yang terbaru, judulnya "Unbreakable Smile"
-Maddie

HipstercriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang