Bab 04 - Keputusan

369 33 2
                                    


"Bu, Ima bersumpah bahwa Ima dan Mas Rama tidak pernah melakukan apa pun. Ima bahkan tidak tahu bagaimana Ima bisa terbangun di kamarnya Mas Rama. Ibu tolong percaya sama Ima." Sembari menangis tersedu-sedu, Ima menatap punggung ringkih ibunya yang tengah berjongkok di depan tunggu api untuk memasak nasi. Ima sudah menceritakan semua kejadiannya pada sang ibu, tanpa terkecuali, termasuk lamaran yang diutarakan oleh Rian padanya.

Tanpa menoleh, Ibu menjawab, "Ibu percaya. Hanya saja, sedari awal kamu seharusnya tidak datang ke rumah itu, Ima. Kalau Rian memang berniat melamarmu, kenapa dia tidak langsung saja datang ke sini? Atau kenapa dia tidak mengajakmu ke tempat yang lebih terbuka? Kenapa harus rumahnya yang saat itu dia pikir tengah sepi tanpa seorang pun kecuali kalian berdua?"

"Ta-tapi, tapi aku percaya kalau Kak Rian bukan orang yang seperti itu, Bu."

Ibu pun akhirnya berbalik dan menatap Ima. "Nak, Ibu juga percaya bahwa Rian bukan orang seperti itu. Tapi, kebanyakan kejahatan atau dosa itu dilakukan bukan karena mereka berniat melakukannya sejak awal, tapi karena adanya kesempatan. Orang sebaik apa pun akan mudah tergoda kalau kesempatan terbuka lebar di depan mata mereka. Maafkan Ibu sudah berasumsi seperti ini. Ibu hanya ... menyesal, Nak."

"...." Ima tidak mampu menjawab perkataan ibunya. Saat ini, dia tengah dalam posisi yang tidak tepat untuk terus-terusan membela Rian.

Setetes air mata kembali mengalir di pipi ibunya. "Sudahlah, Nak, kita lupakan masalah ini untuk sejenak dan menikmati makan siang yang enak."

Ima mengusap air matanya dan menatap ibunya penuh rasa bersalah. "Ima bantu Ibu."

"Jangan!" sanggah ibunya. "Kamu istirahat saja ke kamar."

Akhirnya, Ima pun menurut. Namun sebelum itu dia membersihkan diri terlebih dahulu dan mendekam di kamarnya sampai Ibu memanggil untuk makan siang.

***

Semalaman Ima tidak bisa tidur karena memikirkan ucapan Pak RT pagi tadi. Dia dan ibunya juga tidak keluar rumah karena malu oleh penghakiman masyarakat atau omongan mereka. Saat ini, Ima tengah menjadi topik utama di setiap kubu gosip para ibu-ibu di komplek yang sempit ini. Mereka pasti berpikir Ima adalah seorang penggoda. Karena dia berasal dari keluarga yang miskin, sementara Rama Fathaan adalah keluarga kaya raya di kampung ini. Dia memiliki banyak kebun dan sawah hasil dari pekerjaannya di kota. Sementara Rian bekerja sebagai seorang teknisi di proyek-proyek besar seperti PLTU atau Migas dengan gaji jauh di atas UMR.

Sementara Ima, Ima hanyalah seorang anak perempuan yang telah lama ditinggal oleh ayahnya sehingga dia dan ibunya harus bekerja keras seorang diri. Ima berjualan kue di pasar, sementara ibunya hanya penjual nasi uduk di warung kecil depan rumah mereka.

Selama ini, Ima berniat untuk menjalani hidupnya dengan damai dan apa adanya. Setelah menikah dengan Rian nanti, dia mengharapkan anak, lalu hidup sampai tua menjadi istri dan ibu, setelah itu dia akan mati dengan tenang. Ima selalu mengharapkan kesederhanaan dalam hidupnya. Namun kali ini, sepertinya harapannya itu tidak akan jadi kenyataan.

"Bagaimana aku bisa menikah dengan pria yang sangat membenciku?" lirih Ima, dengan air mata yang mengalir jatuh membasahi permukaan bantalnya.

Yang selama ini Ima tahu, Rama adalah penentang utama dalam hubungannya dengan Rian. Pria itu seolah membenci Ima. Kepribadiannya pun sangat jauh berbeda dengan Rian yang penyayang, Rama kasar dan dipenuhi kebencian.

Bahkan saking baiknya Rian, dia bahkan sampai tidak berani melawan kakaknya. Rian melepaskan Ima begitu saja untuk dimiliki orang lain. Dan sekalipun ini bukan salah pria itu, Ima tetap saja menyayangkannya.

"Kenapa aku tidak bisa menikahi pria yang aku cintai dan juga mencintaiku? Kenapa bukan Kak Rian dan harus Mas Rama?" tangis Ima semakin tersedu-sedu. Dia tidak ingin membangunkan Ibu yang letak kamarnya ada di sebelah, jadi Ima menutup wajahnya dengan selimut dan menangis tanpa suara.

Pada pagi harinya, Ima telah mengambil keputusan yang pasti. Matanya sembab saat dia menghampiri Ibu di dapur.

"Ibu tidak jualan?" tanya Ima heran. Karena melihat tidak ada bahan makanan seperti biasa untuk menjual nasi uduk.

"Ibu libur dulu," jawabnya.

Ima tercenung, menyadari alasan apa yang membuat ibunya memilih untuk tidak jualan.

Pasti karena Ibu malu, pikir Ima. Dan ini semakin menguatkan keputusannya yang telah dia pikirkan semalam suntuk.

Setelah lama terdiam, Ima pun akhirnya berucap, "Bu, aku bersedia menikah dengan Mas Rama."

Gerakan Ibu yang tengah mengaduk sayur sop di panci sontak berhenti. Tanpa mengatakan apa pun, Ibu berbalik kemudian memeluk Ima.

"Nak, kamu tidak harus melakukannya. Ibu tidak mau kamu menyesal dan hidup menderita dalam rumah tanggamu nanti. Jangan pikirkan perkataan orang-orang sini. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak tahu bagaimana kita sebenarnya." Ibu mengatakan semua itu dengan suara serak oleh tangis.

Ima menggeleng. "Tidak, Bu. Ini sudah keputusan Ima. Ima tidak mau Ibu menanggung malu lebih dari kelakuan tidak bertanggung jawab Ima."

***

Saat malam tiba, keluarga besar Fathaan datang melamar ke rumah Ima. Para tetangga yang ingin tahu juga berbondong-bondong datang. Pasalnya, Rama atau pun Rian sudah lama melajang dan ada banyak ibu-ibu komplek yang ingin menjodohkan anak mereka dengan dua pria tampan dan mapan itu. Namun sayangnya tidak ada yang berhasil. Siapa yang menyangka bahwa ternyata yang berhasil menikahi Rama nanti adalah perempuan seperti Ima? Itulah yang digosipkan para tetangga saat ini.

Namun, kepedulian Ima pada apa yang diucapkan para tetangga mulai mengurang. Terlebih saat ini, Ima melihat tatapan kesedihan yang sangat jelas di mata Rian yang sepertinya sedikit sembab akibat menangis. Selain Rama dan Rian, juga ada Bibi Santi dan Paman Ade sebagai wali karena kakak beradik Fathaan itu telah menjadi yatim piatu sejak mereka kecil.

"Buk, niat kedatangan saya ke sini adalah untuk melamar Ima menjadi istri saya." Suara berat Rama yang khas terdengar memenuhi ruang tamu sempit di rumah Ima ini. Tatapan tegas pria itu tertuju pada Ibu, sementara Ima duduk di sampingnya hanya menunduk tidak berani mengangkat pandangannya sedikit pun.

"Nak Rama, terima kasih karena sudah datang. Sebenarnya, semua keputusan telah Ibu limpahkan ke Ima. Jadi apa pun jawaban Ima, tolong Nak Rama terima dengan lapang dada ya," kata Ibu.

"Baik, Bu. Saya mengerti itu," sahut Rama. Dia lalu beralih menatap Ima dan berkata dengan sangat lugas, "Ima, maukah kamu menjadi istri saya?"

Seketika itu juga, ruangan tersebut menjadi sangat hening, menunggu jawaban Ima.

Karena terlalu lama, Ibu sampai menegur Ima dengan menyentuh tangannya lembut. "Jawablah, Nak."

Ima akhirnya mengangkat pandangannya, yang langsung berlabuh ke arah Rian yang juga tengah menatapnya, dengan tatapan penuh arti. Mata Ima mulai berkaca-kaca. Bagaimana bisa hubungan percintaan mereka yang indah harus kandas secepat ini? Bahkan di saat mereka sedang bahagia-bahagianya. Seharusnya yang mengucapkan kalimat lamaran itu adalah Rian, bukan Rama.

Ima tidak sadar bahwa matanya mulai berkaca-kaca. Rian pun juga sama. Pria itu menunduk, menyembunyikan kesedihannya.

'Kenapa Kak Rian sampai akhir tidak mau memperjuangkanku? Kenapa dia sama sekali tidak berniat melawan kakaknya? Mas Rama pasti akan merasa lebih senang kalau Kak Rian mau menggantikan tanggung jawabnya,' batin Ima dengan pilu.

Lalu Ima tersadar sesuatu. Sejak kemarin, Rian sama sekali tidak bertanya tentang kebenaran apa yang Ima dan Rama lakukan di kamar itu. Rian sama sekali tidak menyinggung tentangnya. Entah karena Rian percaya pada Ima, atau dia justru merasa jijik pada Ima karena percaya bahwa Ima dan Rama benar-benar telah melakukan zina?

"Ima," panggil Rama. "Saya akan menunggu jawabanmu dengan sabar. Kalau sekiranya malam ini kamu belum bisa menjawab, saya akan datang lagi besok. Kapan pun kamu siap."

Dengan segenap keteguhan di dalam dadanya. Ima pun akhirnya menjawab, "Saya siap, Mas. Saya menerima lamaran Mas Rama."

***


Terpaksa Menikahi Calon Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang