Bab 05 - Obrolan Malam

319 31 2
                                    


Air mata Ima seperti tidak ada habisnya. Dia terus-terus menangis ketika rombongan Rama membawanya pergi dari rumah. Menurut adat sini, calon pengantin wanita akan diboyong ke rumah pria beberapa hari sebelum akad nikah dilaksanakan dan di sana dia akan dijaga oleh keluarga perempuan sang calon pengantin pria.

Ima telah mengenal Bi Santi dan Paman Ade, tapi Ima tidak pernah bertemu dengan Keluarga Fathaan yang lain. Dan saat ini, Ima tengah berada di sebuah kamar dengan keponakan dan sepupu Rama, yang masih sangat asing dengan Ima. Mereka tertidur sementara Ima melamun di dekat jendela, menatap pekatnya malam.

Sejak tadi, Ima tidak pernah bertemu dengan Rian lagi. Dan dia tidak bisa melupakan raut wajah pria itu saat di prosesi lamaran tadi. Ima terus-terusan memikirkannya. Dan hal yang paling dia takutkan adalah saat Rian mendengar ijab kabul yang nanti akan diisi oleh nama kakaknya, bukan nama dia. Seberapa hancurnya Ima saat itu terjadi.

"Kenapa belum tidur?"

Tiba-tiba saja, sebuah suara terdengar mengalun dari luar. Ima tersentak kaget, mendengar orang berbicara pada malam gelap yang juga sepi ini sangat tidak biasa. Sehingga satu jawabannya yaitu pasti demit. Ima bergidik. Sekalipun sedang sedih, yang namanya hantu tetap membuat Ima merinding takut.

Namun suara itu terdengar lagi, kali ini sebuah kekehan renyah.

Karena penasaran, Ima membuka lagi jendelanya dan melongokkan kepalanya ke luar. Saat itulah kemudian dia lihat bahwa di sampingnya ternyata ada sebuah balkon. Dan di sana, siluet seorang pria tampak bersender di birai pembatas.

"Mas Rama?" ucap Ima, berbisik tidak yakin.

"Saya tanya, kenapa belum tidur?"

Benar, itu Rama. Ima sangat yakin. Saat pandangan Ima mulai beradaptasi dengan cahaya yang kurang, wajah Rama tampak semakin jelas, termasuk luka lebam yang masih tampak di sana akibat pukulan Rian dua hari lalu.

Setelah memastikan bahwa itu memang Rama, Ima mengalihkan pandangannya lagi ke depan.

"Bagaimana Ima bisa tidur mengetahui besok adalah hari pernikahan Ima dengan laki-laki yang Ima benci?" sulut Ima terbawa emosi.

Rama terkekeh lagi. "Cara bicaramu terdengar sangat menggemaskan sekali, Ima."

Kedua kelopak mata Ima membesar mendengar ucapan Rama itu. Dia pun baru tersadar bahwa memang dia telah berbicara seperti ketika dia berbicara dengan ibu atau orang-orang terdekatnya yang lebih tua dan dia hormati.

"Sekarang, kenapa kamu diam?" kata Rama lagi.

Ima tidak tahan mendengar suara berat pria itu dan nada bicaranya yang santai seolah keberatan hati ini hanya Ima yang rasakan. Dia lantas menyahut, "Aku selalu berbicara seperti itu dengan orang yang jauh lebih tua dariku." Kali ini, Ima menggunakan gaya bicaranya yang biasa, sama seperti ketika dia berbicara dengan Rian yang noteben satu tahun lebih tua darinya, sementara Rama dan Ima berjarak usia 6 tahun.

"Hm. Mencoba menyinggung, ya," sahut Rama.

Ima menundukkan pandangannya ke tanah. "Mas Rama jelas membenciku, tapi kenapa melakukannya sampai sejauh ini?" lirih Ima pelan. Karena dia tidak ingin orang lain mendengar, dia juga berharap Rama tidak mendengarnya sekalian karena sedetik setelah mengucapkannya, Ima menyesal.

Tapi Rama menangkap dengan jelas kata-kata Ima itu. "Jadi kamu berpikir bahwa pernikahan ini adalah hukuman dariku, Ima, karena aku terlalu membencimu?" Tidak ada lagi nada santai dalam ucapan pria itu. Kali ini, dia benar-benar terdengar tersinggung.

Pandangan Ima pada rumput-rumput di bawah mulai mengabur. Belakang matanya terasa panas dan perih karena terus-terusan menangis. Dia mendadak merasa takut karena telah menyinggung Rama. Bagaimana kalau Rama marah dan balas dendam saat mereka telah menjadi suami istri nanti? Apakah Rama akan memukulnya dan membentak-bentaknya? Ima takut sekali.

Terpaksa Menikahi Calon Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang