Palembang
Gemerlap cahaya lampu di jembatan Ampera, mungkin tidak akan terlihat lagi. Malam tadi sepertinya malam terakhirku bersama semua sahabat menikmati keindahan kota Palembang. Kota tempat diriku dan adik-adikku dibesarkan. Waktuku, kini tidak banyak lagi. Semua peristiwa akan menjadi sejarah panjang, sepanjang sungai musi yang membentang indah mengaliri relung hatiku.
“Mey … ayo turun!”Ayah memanggil namakku. Nama panggilan dari nama lengkapku—Maisha Cantika Nataprawira. Entahlah artinya apa, yang jelas kata terakhir diambil dari nama ayah, yakni Heri Nataprawira . Suara ayah yang berat sama beratnya dengan kedua kakiku yang sejak tadi tertancap di balkon. Kuangkat dan kucoba langkahkan perlahan menyusuri tahap demi tahap tangga menuju lantai bawah. Sesekali mataku memandang dinding yang kini polos tanpa potret masa-masa kecilku. Rumah sederhana penuh cinta bertahun lamanya.
“Kak Mey … cepetan ih, lama banget jalannya!”Adik-adikku yang berjubel memang tidak sabaran. Mereka kompak memanggilku, riuh seperti deretan mahasiswa yang sedang demo di gedung DPR. Aku, si sulung tetap pada prinsip ‘santuy’. Ayah terlihat sudah siap depan setir mobil. Ibu duduk di samping ayah sambil menggendong bayi—adik bungsuku. Sedangkan kursi tengah sesak dengan adik-adikku yang lainnya. Entahlah, apa yang ada dalam benak ayah dan ibu. Aku pikir, memproduksi anak adalah bagian dari hobby mereka.
“Kakak duduk di mana nih? Muatan penuh, Guys!” katakku.
“Kak Mey duduknya di bagasi ajalah,” timpal Reyhan—adikku sambil tertawa lebar.
“Sialan kamu! Sana minggir! Kamu kan laki-laki duduk di belakang sana!” Suaraku yang terkenal stereo berhasil menyingkirkan posisi duduknya.
“Oke, anak Ayah semuanya sudah masuk ‘kan? Siap berangkat?” Ayah seolah memastikan bahwa semua anaknya sudah lengkap.
“Siap!” jawab kami kompak.
Mobil melaju meninggalkan home sweet home. Meninggalkan kota Palembang dengan sejuta kenangan, menuju kehidupan baru di kota kembang—Bandung.. Berdasarkan cerita Ayah, awal jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) beliau ditugaskan di Palembang. Selama kurang lebih 15 tahun merantau meninggalkan kampung halaman, baru tahun sekarang pengajuan mutasinya di-acc oleh instansi setempat. Bagiku, akan sangat butuh penyesuaian baru. Sekolah baru, teman baru, tetangga baru dan tentunya lingkungan baru.
Perjalanan melalui jalur darat terasa sangat lama. Wajah-wajah temanku semasa putih biru tak hentinya mengganggu pikiran, terlebih lelaki imut berwajah kearab-araban yang sempat dekat denganku. Ah! Itu hanya cinta monyet. Aku belum paham betul apa itu cinta sesungguhnya.
Saking jauhnya perjalanan, aku sempat tertidur dan terbangun beberapa kali. Kucoba buka kelopak mataku lebar-lebar. Kupandangi beberapa gedung dan pepohonan yang berlari dengan cepatnya . Tiba-tiba ponselku bergetar, mengalihkan pandanganku.
[Hati-hati di jalan ya, Mey. Jika sudah jadi orang Bandung, jangan lupakan aku]Pesan whatsup dari Sahrul, bocah imut yang berwajah kearab-araban.
[Hehe, enggaklah. Kamu dan teman-teman yang lainnya akan selalu aku cinta]
Jujur, aku tidak bisa mendefinisikan apa itu cinta. Yang aku tau dari koleksi buku bacaan ibu, “Cinta adalah kekuatan liar. Ketika kita mencoba untuk mengontrolnya, itu menghancurkan kita. Ketika kita mencoba untuk memenjarakan, itu memperbudak kita. Ketika kita mencoba untuk memahaminya, itu membuat kita merasa tersesat dan bingung.”
***
Cimahi, Bandung
Kini aku berada di Bandung. Tepatnya di daerah perumahahan Bumi Asri Cihanjuang. Konon, kata Ayah … di daerah sinilah beliau dilahirkan. Koplek perumahan yang sejuk dan nyaman berada di antara kaki Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Burangrang dengan perbatasan wilayah antara kabupaten Bandung dan Kota Cimahi.
Rumah yang aku dan keluargaku singgahi di sini ukurannya lumayan luas jika dibandingkan dengan rumahku sebelumnya. Rumah 2 lantai dengan ukuran 70 meter persegi. Terdiri dari dua kamar di bawah (kamar produksi ayah dan ibu plus kamar tamu berukuran kecil) dan 3 kamar di atas (satu kamar adik laki-lakiku, satu kamar aku dan adik perempuanku dan satu lagi kamar adik kembarku).
Jika di kota Palembang view tertuju pada gemerlap LED di sepanjang jembatan dan sungai Musi, di sini view terutuju pada pegunungan. Sama-sama indah dan pastinya mampu membuat hidup lebih hidup.
Ayah pindah tugas dari SMPN 15 Palembang ke SMPN 2 Cimahi Bandung. Jarak dari rumah ke tempat kerja hanya membutuhkan waktu sekitar 24 menit, jika menggunakan mobil. Sedangkan jarak dari rumah ke tempat sekolahku hanya memerlukan waktu 13 menit. Tentu saja jarak yang sangat dekat dan tidak terlalu perlu membutuhkan persiapan yang lama sebelum berangkat sekolah.
Ayah sosok lelaki yang bertanggung jawab dan penuh cinta. Saking cintanya pada ibu, beliau gigih mencari nafkah dan meratukan ibu di rumah. Iya, Ibu dulunya wanita karer. Namun, semenjak aku lahir sampai sekarang, ia hanya fokus menjadi ibu rumah tangga. Terkadang aku berpikir … sayang banget lulusan sarjana, tetapi harus stay di rumah. Akan tetapi, orang dewasa pasti punya pemikiran lain, yang tentunya tidak sesederhana yang aku pikir.Untuk mengisi waktu luangnya ibuku biasa menulis buku. Aku merupakan salah satu penggemar setianya. Bahkan kisah cinta ibu dan ayah diabadikan dalam sebuah buku. Oh, so sweet.
***Thanks for reading 😍
See U in the next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
Maisha
JugendliteraturMaisha, gadis Palembang berparas cantik yang ikut pindah bareng keluarganya ke Jawa. Di sana dia beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru. Banyak pria yang mendekatinya, tetapi hanya lelaki tampan bermata sipit yang berhasil membius perasaannya...