1 - Yang Pergi Akan Pergi

1K 155 24
                                    

Nyonya Sakura tidak sadarkan diri pagi ini. Sepertinya, ia tidak dapat bertahan lagi.

Pesan itulah yang menjadi alasan Hinata untuk absen dari tugasnya. Meski begitu, ia menyempatkan juniornya untuk tetap tinggal dan melanjutkan pekerjaan mereka sementara waktu.

Hinata baru saja kembali dari Taiwan malam itu. Ia membenarkan nuraninya ketika meninggalkan Sakura dan Himeka di rumah sakit dalam perjalanan dinasnya. Tak seharusnya ia menerima tawaran atasannya itu untuk pergi ke Taiwan dan meliput aksi demonstrasi. Ia tahu bahwa akhir-akhir ini adalah masa terberat Sakura. Seharusnya ia menjaga wanita itu setidaknya di saat terakhirnya. Dalam hal ini, Hinata menyalahkan sifatnya yang sensitif dan mudah tidak-enakan pada beberapa situasi. Meminta rute taksi tercepat, Hinata berharap ia akan sampai lebih cepat. Lebih dari itu, ia berharap Sakura dan Himeka baik-baik saja.

Sesampai di rumah sakit, melewati pintu masuk yang sama, melewati meja resepsionis yang sama, mengambil rute yang berlawanan dengan kamar inap, Hinata akhirnya melihat pintu ICU. Malam itu sunyi. Hanya ada dua orang di tempat itu, selain Himeka dan Kakashi yang berdiri bersandar pada dinding. Hinata tertegun melihat keberadaan pria itu tapi pasti keberadaannya karena Himeka. Setelah Hinata, hanya Kakashi-lah yang menjawab panggilan anak itu.

"Kaachan!" mata Himeka berbinar lega tapi seketika menggenang air mata. Anak itu beranjak dari duduknya dan berlari memeluk kaki ibunya. Hinata cukup terkejut melihat Himeka masih belum juga tidur pada jam selarut ini. Anak itu cukup dewasa untuk mengerti bahwa di saat seperti ini adalah bukan saat yang tepat untuk tidur, atau mungkin Himeka memang sedang menunggu ibunya.

Hinata menggendong putrinya. Ia menghampiri Kakashi dan membungkukkan badan, menyapa sekaligus mengucapkan terima kasih pada pria itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Hinata seraya membawa dirinya duduk sambil tetap membawa Himeja dalam gendongannya.

"Sepertinya komplikasinya semakin memburuk. Tadi pagi, ia sudah tak bisa melihat lagi. Ia juga mual dan muntah." Penjelasan Kakashi membuat Hinata menghembuskan napas panjangnya.

"Pada akhirnya semua pengobatan itu sia-sia," kata Hinata. "Setidaknya ia bisa melihat Himeka," pikirnya.

Hinata sudah mempersiapkan saat terburuk dalam menghadapi kenyataan Sakura. Namun tetap saja ia tak mampu. Ketika dokter keluar dari ICU dan menghampirinya, saat itulah ia tahu bahwa ia harus menghadapi ini.

Wanita itu meminta Kakashi membawa Himeka yang mulai terlelap. Anak itu sedikit terbangun ketika Hinata memindahkan tubuhnya, tapi dengan cepat ia memeluk Kakashi dan menyandarkan kepala di dada bidang pria itu.

Hinata menghampiri Sakura yang kondisinya sudah tak karuan. Luka-luka pada kulitnya bertambah sejak terakhir kali ia melihat wanita itu. Perutnya juga semakin membesar. Hanya tiga hari dan kondisi Sakura sudah seburuk ini. Wanita itu tak sadarkan diri dan mesin-mesin rumah sakit yang sering Hinata lihat dalam drama sore yang ditonton bersamanya, kini terpasang pada wanita itu.

Duduk di samping wanita itu, Hinata memegangi tangannya. Ia menggenggamnya perlahan dan melihat ruam-ruam serta luka terbuka yang muncul akibat komplikasi yang kini dialami Sakura. Tangannya lemas, dingin, pucat. Seakan tak ada kehidupan di sana.

"Aku kembali, Sakura. Maafkan aku."

Hinata terus menatap Sakura yang masih memejamkan mata, tak bergeming.

"Semua janji yang pernah kukatakan, akan kuwujudkan. Maafkan aku, Sakura dan... terima kasih. Terima kasih telah bertahan. "

Seakan mengetahui kehadirannya, Hinata melihat air mata Sakura menggenangi pipinya meskipun mata wanita itu terpejam. Lalu tak lama, mesin yang terpasang pada tubuh Sakurapun berbunyi panjang dan para dokter yang mendengar suara itu tak bisa mengatakan apapun selain mendekati Hinata yang matanya mulai berkaca-kaca.

PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang