1

6.8K 457 19
                                    

*
*
Selamat membaca
*

*

Jangan lupa taburan bintang dan komennya, Bestie!!

***

UNTUK KEENAM KALINYA dalam sejam, Abe membaca ulang pesan singkat dari Alby.

Tidak peduli sedang berada di tempat umum, Abe meninggalkan kursinya dengan mata seperti menempel ke layar ponsel, sedangkan kepalanya sibuk mengucapkan satu kalimat yang sama berulang kali: Kian balik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak peduli sedang berada di tempat umum, Abe meninggalkan kursinya dengan mata seperti menempel ke layar ponsel, sedangkan kepalanya sibuk mengucapkan satu kalimat yang sama berulang kali: Kian balik. Setelah lima tahun bersembunyi entah di mana, perempuan itu akhirnya muncul lagi. Percikan rasa senang merayapi setiap sudut tulang Abe membakar habis rasa penasaran pada alasan Kian kembali. Terserah apa yang menarik Kian dari goa, ada yang lebih penting daripada mengulik alasan-alasan tersebut. Dia memiliki perkerjaan rumah yang kalau dipikir tanpa campur tangan rasa senang, sepertinya bakal mustahil. Abe perlu mencari cara untuk bertemu Kian serta menyusun strategi supaya apa yang pernah menjadi miliknya mau kembali: Kian dan kehangatan perempuan itu ....

Aksi jalan menunduk menuju pintu keluar, membuat Abe menabrak sesuatu. Dengan rasa terpaksa yang digelayuti kemalasaan, dia mengangkat kepala. Sebuah tatapan dingin menyambut dirinya, seolah meneriakkan kejengkelan: Punya mata nggak?! Namun, saat Abe menyunggingkan senyum lebar sebagai permintaan maaf, rasa sebal tampak mencair, dan perempuan di depannya tertegun.

Abe memberi waktu lima belas detik bagi si perempuan mengadu pandangan mereka, lalu bergeser ke sisi kanan yang kosongnya bisa dilewati dengan berjalan miring. Namun, orang tersebut ikut bergerak menghalangi jalan yang dipilih dia, seakan-akan ingin meminta syarat—bayaran—atau apalah namanya.

Sembari tersenyum seramah yang mampu diusahakan, Abe berkata, "Sori. Lagi nggak bisa kenalan."

Abe terlalu sering menghadapi trik-trik berkenalan seperi ini, mengharapkan keramahtamahan, perkenalan dengan menggunakan pesona seolah-olah dia bakal tertarik mengajak si perempuan ke ranjang, yang terkadang bayarannya berkali-kali lebih mahal saat tahu siapa dia. Terima kasih, tetapi dia lebih memilih menyelesaikan hasrat sendirian.

Umumnya begitu Abe menegaskan sedang tidak mau berkenalan, lawannya bakal buru-buru menyingkir dengan ekspresi malu, tetapi kali ini ... sepertinya cukup tangguh. Abe mengamati si perempuan dari ujung kepala sampai kaki, lalu kembali ke wajah orang ini. Penampilan si pelaku penghadangan terlalu kaku, tidak ada senyum-senyum penuh arti yang sering dilemparkan kepadanya, bahkan dagu perempuan berambut hitam legam ini terangkat tinggi—angkuh.

Senyum ramah Abe lenyap. Dia melesakkan kedua tangan ke saku hoodie abu sembari menggenggam ponsel, lalu bertanya, "Kenapa lihatin saya begitu? Kagum?" Mata orang di depannya menyipit, dan Abe menyeringai, sengaja menaikkan kedua bahu. "Anda bukan yang pertama, sudah sering, tapi sayangnya hari ini saya nggak minat berkenalan basa-basi. Perm—"

Belum kalimat Abe mencapai titik, bagian bawah kiri hoodie serta sedikit jins panggulnya mendadak disiram cola oleh pelaku penghadangan. Gila.

"What the fuck is with you?!" tuntut Abe, hingga tiga orang yang sedang duduk dan makan dekat jendela segera memindahkan pandangan dari ayam ke mereka.

"Sorry," kata si perempuan, dengan satu tangan menarik bagian basah dari kemeja abu satin yang dipakai.  "Sori karena saya nggak menggunakan mata seperti seharusnya." Abe menggeleng tidak habis pikir. Dia sudah tersenyum sebagai permintaan maaf tadi. "Ada urusan penting di handphone sialan ini yang nggak bisa saya tinggalkan. Dan masih banyak alasan remeh lainnya yang bisa anda gunakan, daripada membanggakan hal yang—" Mata tajam pelaku bergerak naik-turun lambat, seolah sedang menilai wajahnya, yang tidak perlu diragukan lagi memang disukai banyak perempuan. "Biasa-biasa saja."

Perkataan itu membuat bibir Abe terbuka makin lebar saja. Dia mengerjap, sibuk menyusun balasan dari kalimat tidak masuk akal orang ini, tetapi si perempuan kaku dan menyebalkan tersebut berbalik kasar memunggunginya lebih dulu, bahkan sengaja menampar kecil ujung dagu Abe dengan ujung rambut yang dikuncir menyerupai buntut kuda, lalu berjalan cepat melewati pintu restoran ayam cepat saji.

Abe tidak mampu beranjak sedikit pun dari tempatnya, keterkejutan pada situasi beberapa saat lalu melumpuhkan beberapa syaraf penting yang sewajarnya beroperasi normal. Ketika matanya bergeser, Abe tidak sengaja melihat senyum mengejek yang terlambat disembunyikan si penonton dari serong kirinya. Brengsek. Dia berjengit dalam hati, mengelak dari kejadian memalukan dan melangkah lebar-lebar meninggalkan restoran.

Di sepanjang jalan menuju hotel yang letaknya hanya berjarak dua gedung dari restoran, Abe berulang kali menggeleng-geleng pelan karena pikirannya terus saja menampilkan ekspresi meremehkan si perempuan asing.

Dasar aneh.

Dan dia lebih aneh lagi, karena merasa terganggu dari penilaian orang yang baru melihatnya beberapa menit dan jelas-jelas sedang kesal karena kesalahan kecil darinya.

Abe mendesah keras dan kasar saat berhasil masuk ke lift tanpa ada satu pun orang asing di sekitarnya. Selama menunggu lift membawanya menuju lantai tujuh belas, Abe kembali memandangi pesan singkat dari Alby sebagai bentuk mengingatkan diri sendiri ada urusan lebih penting daripada memikirkan manusia asing yang tidak bakal dia jumpai lagi.

*
*

Terima kasih sudah menyempatkan waktu membaca, semoga berkenan di hati kalian.

Untuk informasi naskah-naskah aku yang lain, kalian bisa follow :

Instagram : Flaradeviana (Pribadi)

Instagram : Coretanflara (Tempat kehaluan dan Someone to Love versi AU)

Love, Fla.

Someone To Love (ver revisi Possessive Pilot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang