EMPAT

2 0 0
                                    

Seperti biasa, sebelum baca jangan lupa vote dulu.

Happy reading~

-------ooOoo------

EGOIS | 4

-------ooOoo-----

"Van, abis lo ekskul basket, karaoke kuy!" Ajak Safna saat keduanya sedang berjalan hendak ke parkiran.

"Karaoke?" Vana menatap Safna kemudian tertawa garing. "Nggak dulu, deh, ada ekspetasi orang tua yang harus dijadikan realita."

"Jangan bilang abis basket nanti lo harus les?" Tebak Safna yang hanya dibalas anggukan singkat.

"Bisa masuk gitu materinya ke otak lo?"

"Harus bisa." Balas Vana tak terlalu yakin.

Safna mengerutkan kening seolah tidak habis pikir. "Otak lo nggak berasap gitu?!"

"Gue sekolah dari pagi sampe sore aja rasanya mau kabur, cok! Lah lo abis ini masih kegiatan, masih les."

"Bersyukur makanya! Masih mending lo nggak jadi anaknya emak gue." Sahut Vana.

"Alhamdulillah ya Allah!" Seru Safna. Kali ini dia amat sangat bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya.

"Abang lo udah di depan tuh." Vana menunjuk seorang laki-laki dengan dagunya.

"Oiya, gue duluan kalau gitu." Tutur Safna.

"Hm, hati-hati."

"Iya siap!"

Setelah itu Safna berlari menuju gerbang. Sedangkan Vana melanjutkan ke parkiran untuk mengambil sepatu basket di jok motornya.

"Yakin mau ikut latihan hari ini? Kaki lo udah beneran baik-baik aja?" Itu Mada yang bertanya. Kebetulan dia juga ke parkiran untuk menaruh seragam dan jaketnya.

"Patahin kaki Karin dan tanya sama dia." Sahut Vana dingin. Tanpa menoleh sama sekali.

"Yang gue tanya itu keadaan kaki pacar gue, Vanaya." Balas Mada terdengar menuntut.

"Pacar? Yakin nggak salah, tuh?"

"Giliran nggak ada Karin aja ngaku-ngaku jadi pacar gue." Vana tertawa sinis.

"Lo masih marah soal yang kemarin?"

Vana mendengus geli. "Lucu lo."

"Ya jelas gue marah! Pake tanya lagi!"

"Lo tahu sendiri, kan, kemarin Karin sakit." Mada mencoba membela dirinya sendiri.

"Gue juga pernah sakit, tapi lo nggak pernah sepeduli itu sama gue." Vana berucap dengan santai. Meskipun begitu, jelas ada kekecewaan di dalamnya.

"Gue peduli sama lo." Sahut Mada tegas.

"Apa? Bagian mana peduli lo sama gue?" Vana semakin menantang.

Mada terdiam, ingin menjawab tetapi dia memilih urung.

"Ga bisa jawab, kan?" Gadis itu menatap Mada kecewa. "Itu karena di otak lo isinya cuma Karin. Nggak pernah ada gue."

"Seribu kali gue bilang jauhin Karin, lo tetap nggak ngerti!"

"Karin itu sakit, Van. Siapa yang jagain dia—"

"Ya terus wajib lo, gitu?" Vana memotong ucapan Mada barusan. "Dari sekian banyak manusia, kenapa harus lo? Kenapa harus Karin? Kenapa harus gue, Mada?!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REVOLUSI BUMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang