4 - Rasa dan Karsa

122 23 2
                                    

Jatuh cinta adalah hal tabu bagi Jooyeon. Namanya saja jatuh, tentu akan terasa sakit. Dia sudah cukup banyak merasakan sakit dalam hidupnya. Namun Jungsu mengubah perspektifnya dalam segala hal. Jungsu menjungkirbalikkan segala keyakinan Jooyeon tentang dirinya.

Dia pikir menjauhi Jungsu adalah keputusan paling bijak yang pernah dia buat. Tapi nyatanya, dia adalah orang paling bodoh sealam semesta. Menjauhi Jungsu sama artinya dengan menusuk belati ke dada. Jooyeon sakit parah akibat ulah sendiri. Dia hampir sekarat, padahal tak lebih dari dua bulan mereka saling kenal. Otaknya tanpa henti memikirkan tindakannya pada Jungsu di pertemuan terakhir mereka. Apartemen Jungsu tak pernah disambanginya lagi sejak itu. Dia dihubungi Jungsu berkali-kali, bahkan lelaki itu mendatanginya ke Fakultas Ilmu Budaya. Tapi Jooyeon sengaja menghindar, meyakinkan diri bahwa dia sudah mengambil jalan yang benar. Tentu itu keyakinan yang salah. Semakin mencoba menjauh, belati semakin dalam menusuk dadanya. Rupanya dia sudah kepalang mabuk asmara.

Hari ini Jungsu ternyata kembali datang ke Fakultas Ilmu Budaya, menyambangi kelas Jooyeon di program studi Sastra Korea. Dia menunggu di depan kelas, tidak memberi sedikit pun ruang bagi Jooyeon untuk kabur. Terpaksa dia menurut ketika Jungsu berkata akan mengantarnya pulang.

Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Jooyeon duduk di kursi penumpang, menyender pada jendela sambil mendengarkan pemutar musik yang memutar lagu-lagu kesukaan Jungsu. Pada dasarnya itu juga lagu-lagu kesukaan Jooyeon, karena mereka memiliki selera musik yang sama. Satu lagi kesamaan yang Jooyeon catat diam-diam di otaknya.

"Kak, apartemenku bukan lewat sini. Kakak masih ingat jalannya 'kan?" tanya Jooyeon waktu tiba-tiba Jungsu membelokkan setirnya ke arah berlawanan.

"Ingat. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat." Jungsu tidak mengalihkan pandangan dari jalan. Jooyeon sulit membaca ekspresinya.

Jooyeon menatap jalanan di sekitar yang terasa familiar. Ini adalah jalan menuju kolumbarium atau rumah penyimpanan abu tempat abu mamanya disimpan. Jooyeon tidak pernah membicarakan tempat ini dengan Jungsu, dia merasa bingung tapi memilih diam.

Selesai memarkir, Jungsu keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Jooyeon. Mungkin kalau sekarang situasi mereka lebih hangat, Jooyeon akan tersipu.

"Kenapa kakak ngajak ke sini?" tanya Jooyeon akhirnya. "Mama ada di sini, perasaan aku belum bilang itu deh ke kakak."

Jungsu tidak terlihat terkejut, justru Jooyeon yang dibuat kaget begitu Jungsu membuka mulut.

"Kebetulan orangtuaku juga ada di sini," katanya.

"Orangtua kakak?"

Dengan senyum yang menentramkan, Jungsu berjalan lebih dulu memasuki kolumbarium, dia berhenti di depan dua buah guci yang diletakkan bersebelahan dalam satu tempat. Ada dua figura foto, satu berisi foto sepasang suami-istri dan satunya foto sebuah keluarga berisi tiga orang. Jungsu berdiri di sebelah lelaki yang mirip dengannya. Seorang wanita dengan senyum persis seperti senyum Jungsu duduk di depan mereka. Foto yang sama dengan yang dipajang Jungsu di kamarnya.

"Ibu, ayah, Jungsu datang. Maaf lama nggak mampir. Ini namanya Jooyeon, Jungsu kenal dia baru dua bulan, tapi rasanya udah kenal lama banget. Aneh 'kan?"

Jooyeon diam saja memperhatikan Jungsu yang bermonolog. Dia masih terkejut. Jungsu tidak pernah menceritakan tentang keluarganya. Jooyeon juga tidak pernah bertanya.

"Guci mamamu yang mana?" tanyanya setelah berdoa. Meski tidak religius, Jungsu tetap mendoakan kedua orangtuanya.

Giliran Jooyeon yang menuntun Jungsu. Mereka berjalan ke ruangan lain.

"Yang ini," ucap Jooyeon sambil berhenti di depan guci dengan dua figura foto wanita cantik yang sangat mirip dengan Jooyeon. Di salah satu foto dia memangku Jooyeon kecil yang tersenyum lebar pada kamera.

"Ma, maaf datang tiba-tiba. Jooyeon aja nggak tahu bakal ke sini," ucapnya.

Jungsu terkekeh karena merasa disindir. "Salam kenal, Tante. Saya Jungsu, kenalan Jooyeon."

Mereka berdoa untuk sesaat, lalu berjalan keluar kolumbarium. Jungsu duduk di bangku yang tak jauh dari gedung itu, dan menepuk spot di sebelahnya untuk menyingkirkan debu, lalu menarik pelan tangan Jooyeon agar dia duduk di situ.

"Aku nggak tahu orangtua kakak udah...." Jooyeon bicara setelah beberapa saat mereka cuma diam.

"Mereka meninggal karena kecelakaan waktu mau pergi ke acara keluarga. Aku harusnya ikut, tapi aku lebih milih main. Sampai sekarang aku kadang masih mikir, harusnya waktu itu aku ikut aja. Seenggaknya aku nggak harus hidup dan berjuang sendirian. Tapi mungkin belum saatnya aku mati, jadi aku masih diberi kehidupan."

Jooyeon menatap Jungsu dengan perasaan campur aduk. Dia bisa merasakan luka dan rasa sakit Jungsu dari tatapan matanya yang sendu.

"Aku udah banyak kehilangan. Hidup nggak ngasih aku apa-apa, justru semua yang kupunya diambil. Aku takut, Jooyeon. Aku takut jadi egois dan memaksa kamu buat tinggal."

"Kak Jungsu...."

"Nggak apa-apa, Jooyeon. Terkadang ada orang-orang yang memang nggak ditakdirkan buat menetap."

"Aku juga takut, Kak," Jooyeon berucap sambil menatap mata Jungsu. "Sejak mama nggak ada, aku selalu mencoba buat nggak terikat sama hal apapun. Karena aku takut sakit kalau harus kehilangan lagi. Makanya pas kakak nyium aku waktu itu, aku nggak bisa mikir jernih. Aku takut kakak bakal pergi suatu saat nanti."

"Aku tahu sakitnya kehilangan, Jooyeon. Aku nggak akan membiarkan orang lain merasakan hal yang sama karena aku."

Mata Jooyeon terasa panas. Dia jarang menangis. Tapi perasaannya sekarang sedang tidak karuan. Airmata menggumpal di pelupuknya, siap meledak saat itu juga. Jungsu meraih Jooyeon, memeluknya erat.

✎✎

Jujur, aku nggak tahu apa-apa soal gedung atau tempat buat penyimpanan abu kremasi. Jadi kalau ternyata ada yang salah, mohon dikoreksi ya ♡

Rampai Kidungan | JungyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang