16. Tidak akan lepas

35.5K 5.1K 3.1K
                                    

Kian keluar dari kamar mandi sambil menurunkan baju kaos baru yang ia kenakan. Baju kaos itu milik Riftan yang tak pernah terpakai. Matanya tidak bisa tidak melihat sekeliling, menatap kediaman yang membuat sang kakak betah berada di sini dibanding rumah mewah bertingkat dua dengan beberapa pelayan yang sigap melayani. Matanya kemudian menilik beberapa foto yang tergantung di atas meja yang berisi beberapa vas bunga lili.

“Gimana ibunya Gwen? cantik, kan?”

Suara yang berasal tepat dari belakangnya membuat Kian terlonjak kaget. Dia berbalik, melihat Riftan yang melipat kedua tangannya ke belakang punggung sambil menatap foto-foto di dinding. “Ini waktu Gwen baru masuk SMP, nangis minta ditemenin ke sekolah sama ibunya. Ini foto kita bertiga, permintaan Gwen buat foto keluarga. Katanya iri sama temen-temennya punya foto keluarga yang formal, bukan selca. Kamu tahu selca?”

Kening Kian mengerut sebentar sebelum menggeleng, membuat Riftan terkekeh. “Saya loh, udah tua tapi tahu istilah anak zaman now. Kata Gwen, selca itu nama lain dari selfie.”

“Itu istilah ciwi-ciwi kali, Yah. Cowok macho kayak Kian gak tahu.” Kian mengidikkan pundak tak berdaya dengan senyum lemah. “Ayah sama Ibu udah kenal lama?”

“Lama, soalnya Ibu Gwen temen lama Ayah.” Riftan menjawab dengan senyum samar sembari menaikkan letak kacamatanya yang melorot. “Kamu gimana bisa nyasar bareng Gwen? Anak itu suka nggak ramah sama orang lain soalnya.”

“Motor Kian ditilang. Karena kebetulan ada Kak Gwen, Kian ikut deh,” ujar Kian gembira. Lagi-lagi mengamati foto masa kecil Gwen dengan senang hati. “Meski Kak Gwen gak ramah, seenggaknya Kak Gwen paling menghargai Kian,” gumamnya kemudian.

Riftan diam sejenak, entah apa yang ia pikirkan sebelum berceletuk, “Kalau mau, kamu bisa sering-sering main ke sini.”

“Pasti, Yah.” Setelah mengatakan itu, seolah mendapat ide cowok berusia 16 tahun itu berbalik menatap Riftan. Tatapan erat dan bersemangatnya membuat pria paruh baya itu menanti dengan sabar dialog apa yang hendak ia lontarkan. “Kalau gitu Kian mau nginep di rumah Ayah, boleh?”

Hati Riftan tergerak lucu oleh tingkah Kian. Ia merasa seolah tengah melihat kucing kecil yang mengeong memohon untuk tidak suntik. “Bo—”

“NGGAK!”

***

Tubuh Gwen menegang sempurna. Meski suara bisikan tepat dari sampingnya rendah dan ringan tanpa emosi, suhu rendah dari tangan lebar yang berhasil sempurna melingkari lengannya memberi kesan tak ada ruang untuknya pergi. Cewek itu memejamkan mata sejemang, sebelum membuka mulutnya—yang tanpa ia sadari telah terkatup erat menahan gugup cukup lama, lalu dengan susah payah mengeluarkan suara dari tenggorokan keringnya. “Sekarang waktunya debit?”

“Terlalu banyak waktu buat debit. Kenapa gak nikmatin kredit dari gue dulu?” Jari-jemari panjang nan dingin di lengan Gwen beralih merambat mencoba menempati tiap celah antar jemari miliknya. “Lo bukan anak ekonom jadi nggak usah pake debit kredit.”

“Tapi tadi pagi lo duluan pake istilah kredit, Salgano!” kecam Gwen yang akhirnya menoleh menatap wajah tampan cowok itu. Seperti biasa, dibanding aroma maskulin yang menggerakan hati para wanita, aroma dari Salga selalu menguar bau disinfektan samar.

Really?” tanya balik cowok itu tanpa dosa.

Senyum tertahan yang sayangnya berhasil bocor dari wajah cowok itu diiringi tatapan dalam dari iris gelap matanya membuat Gwen terperenyak dalam hati. Keinginan kuat untuk menyodok gemas wajah tampan itu menyebar dalam benaknya, sayangnya dia hanya memiliki dua tangan. Satu dipegang erat oleh cowok itu, tangan yang lain memegang kandang rubah.

UNRIVALED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang