17. Gangguan kecil

30.7K 5.1K 944
                                    

Tidak ada hal baik selain kemarin. Kian pulang ke rumah megahnya dengan ekspresi puas. Sembari memasuki bangunan bertingkat dua itu, dia bersiul sembari mengenggam tali ransel dipundaknya. Meski diabaikan Gwen karena berhasil tinggal semalaman di rumahnya, Kian merasa kakaknya itu cukup menggemaskan. Ketidakacuhannya tidak sempurna di mata Kian.

Baru saja menapakkan kaki hendak melewati ruang makan, suara dingin menusuk yang terdengar horor di kuping Kian terdengar. “Keluyuran dari mana lo?”

Kian menoleh, menatap Deshira yang awalnya duduk bermain ponsel kini meliriknya tajam. “Tumben Kak Shira peduliin gue?”

“Story instagram lo maksudnya apa? Lo semalem sama Gwen?”

“Ow, wow. Kak Shira cuma ngajak gue ngobrol karena Kak Gwen, ya?” Kian mengekeh miris. Dia berdiri tegak mengarah ke tempat Deshira, menatap sang kakak yang cemberut. “Iya, gue nginep di rumahnya Kak Gwen. Nggak kayak Kak Shira, Kak Gwen pinter masak, gak bermuka dua, dan yang lebih penting— gue lebih betah sama Kak Gwen dibanding kakak kandung gue sendiri.”

Sebuah gelas kaca melayang kearahnya. Kian sangat terbiasa dengan sifat emosional Deshira menghindar dengan cepat. Sedetik kemudian terdengar pecahan di belakangnya akibat gelas kaca yang menabrak dinding.

“Tutup mulut lo, sialan!” teriak Deshira dengan wajah memerah penuh kemarahan. Kedua tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jemarinya memutih dengan gigi terkatup erat hingga terdengar gelatuk. “Dia gak ada apa-apanya dari gue! Lo nggak diizinin ketemu dia lagi!”

“Dih, ngatur.” Tanpa sadar Kian menyuarakan pemikirannya, membuat Deshira semakin geram. Tidak ingin menjadi objek pelampiasan lagi, Kian bergegas lari dari sana tanpa menghiraukan seruan marah Deshira yang menyuruhnya berhenti.

Berhasil naik lantai dua dengan selamat, Kian mengembuskan napas berat sembari mengusap dada. Dia hendak berjalan menuju kamarnya, tanpa menduga bahwa tiba-tiba seorang pria paruh baya dengan setelan kemeja putih keluar dari sudut dan menghentikannya.

“Kau bersama anak itu semalam?”

Kian memutar bola matanya dalam hati. “Iya. Ayah sambung Kak Gwen baik loh. Lebih baik dari Papi.”

“ZASKIAN!”

“Aw, sakit perut. Bye, Papi!” Kian langsung berlari sambil memegang perutnya, meninggalkan papinya, Andro, yang berwajah muram. Menutup pintu terburu-buru, remaja itu mengelap keningnya menggunakan lengan sembari mengembuskan napas keras. Untung dia melarikan diri dengan cepat, jika tidak kalimat keramat akan terlontar dari mulut sexy papinya—uang jajan dipotong. Memikirkannya membuat bulu kuduknya berdiri.

“Lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Gini amat bertahan hidup di rumah sendiri.” Kian menggumam tak berdaya.

***

Gwen berbalik menatap arah belakang dengan kening berkerut. Tidak melihat sesuatu yang aneh, dia kembali melanjutkan langkah sambil menggosok lengannya. Entah cuma perasaannya saja, atau memang ada yang menatapnya sangat intens sejak memasuki gerbang kampus. Ini membuatnya ngeri. Tanpa sadar langkah kakinya semakin cepat menuju bangunan bertingkat empat di hadapannya.

Tak jauh dari posisi Gwen terdapat sebuah gazebo yang berisi 6 cowok. Mata mereka menatap lekat sosok Gwen yang sejak satu jam lalu mereka nantikan.

“Cantik, cok. Salga tahu aja yang bening,” ujar Razka sambil berdecak kagum.

Enver mengelus dagu dengan mata menyipit. Jiwa buayanya meledak-ledak melihat cewek cantik. “Gue baru tahu anak FKH cantik-cantik.”

“Lo aja yang mainnya kurang jauh, bung.” Kuzey menepuk pundak Enver dengan ekspresi songong. Niat awal ingin memamerkan pengalamannya dalam dunia perbuayaan, namun suaranya teredam oleh perkataan Abe yang tiba-tiba membuat suasana sunyi.

“Itu namanya Gwen, cuk. Pernah Boss bawa doi ke peternakan gue buat ngedate.” Abe menggosok layar ponselnya menggunakan kaos yang ia kenakan, tidak menyadari lima pasang mata yang menatapnya tak percaya.

“Ngedate di... peternakan?” tanya Genta dengan mulut menganga.

“Yang lo omongin ini Salgano Rahardian yang punya duit miliaran di ATM-nya, kan?” Nakla ikut bertanya dengan nada tak yakin, merasa pendengarannya sedang bermasalah saat ini.

Abe yang akhirnya menyadari suasana tidak benar langsung mengedarkan pandangan— terlebih mendengar pertanyaan Genta. “Lo remehin peternakan gue, hah?! Gitu-gitu peternakan gue bisa hasilin satu mobil civic tiap bulan!” damprat Abe berupaya meninju Genta.

“Ampun juragan!!!” seru Genta yang kini bersembunyi di balik tubuh Nakla.

“Jaga image dikit, woi. Ada banyak cecan seliweran.” Kuzey menyugar rambutnya ke belakang sembari mengatur ekspresinya sekeren mungkin—yang kemudian diberi gaplokan kuat dari Razka.

“Bacot, anying.”

“Iri, sirik, dengki,....” Semakin lama suara Kuzey semakin mengecil begitu menerima tatapan tajam dari Razka. “Penyakit hati.”

“Jadi ngapain kita semua di sini?” tanya Enver tiba-tiba membangunkan mereka semua.

“Kan mau liat cewek hebat mana yang bisa dinginin hati pedesnya Salga,” sahut Kuzey.

“Terus?”

“Balik, lah. Lanjut turu.” Genta menguap sembari melangkah pergi dari gazebo, meninggalkan lima orang lainnya yang saling melirik sebelum mengedikkan pundak tak acuh dan ikut meninggalkan tempat itu.

Ya, mereka memang serandom itu.

***

Ting!

Salga mengangkat kepalanya untuk melihat pintu lift yang perlahan terbuka sembari melipat lengan kemeja putihnya. Kaki jenjangnya melangkah lebar keluar dari lift menuju pintu keluar dengan ransel yang tergantung di pundak kanannya. Dia kira perjalanannya menuju parkiran akan semulus biasanya. Namun kali ini ada sedikit hambatan. Seorang cewek dengan pakaian feminim—sweater coklat dengan rok putih diatas lutut— berdiri tak jauh dari mobilnya berada.

“Kak Salga?”

Salga tidak menoleh bahkan jika namanya disebutkan. Ketika dia akan membuka pintu mobil, cewek itu bergegas mendekat sembari meremas telapak tangannya gugup.

“Kakak pacarnya Kak Gwen, kan? Aku Deshira, adiknya Kak Gwen. Kalau Kakak penasaran tentang Kak Gwen, bisa tanya aku. Aku juga ada yang mau ditanyain ke kakak. Kakak ada waktu?” tanyanya berusaha tenang meski rasa penuh harap sangat kentara di matanya.

“Gak.”

“Um, kalau gitu kakak mau makan bareng dulu gak? Aku tahu restoran enak di sekitar sini.”

Salga menghentikan niatnya untuk masuk mobil lalu berbalik. Tangan kirinya terentang menyanggah pintu mobil. “Lo tahu jalan ke restorannya?”

Deshira mengangguk cepat dengan senyum tertahan. Namun perkataan Salga berikutnya benar-benar menohok perasaannya.

“Bagus. Jalan sendiri kalau tahu. Jangan manja.” Tanpa memerhatikan bagaimana reaksi Deshira, Salga memasuki mobil. Dia menekan klakson agar Deshira yang menghalangi akses jalan mobilnya melipir, lalu setelah itu menancap gas meninggalkan tempat kejadian tanpa mempedulikan sisanya.

TBC

October 5, 2022.

Besok up lagi?

UNRIVALED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang