Ruangan lengang ini mendekapku begitu erat, sampai-sampai membuat jantungku berdebar lebih kuat.
Entah, kejadiannya berlalu sangat cepat. Begitu aku sadar dari tumpukan lamunan yang melelahkan, diriku seperti sudah terlempar di sini. Hanya ada pohon lilin dengan tiga cabang yang menyala di depanku. Mungkin karena aku bernapas di sekitarnya atau memang udara terasa lebih cepat melesat dari yang kukira, lilin itu redup-nyala-redup-nyala. Apinya sangat kecil, seperti tengah menahan angin-angin yang ada.
Suara derit pintu, dan sehembus angin yang lebih kencang membuat api di hadapanku mati seketika, sedikit membuatku tersentak. Kemudian, semakin jelas suara berderap tertangkap dalam runguku, membuatku memasang mata awas walau dalam keadaan remang.
"Hei, kamu sudah menunggu lama, ya?"
Suara ini?
Kemudian, tepat ketika pohon lilin yang nyala dengan terang benderang disodorkan ke wajahku, bisa kulihat siapa orang yang menanyaiku tadi.
"Ayo, berdirilah. Mari berbincang dengan nyaman."
Orang itu adalah aku. Namun, wujud kami berbeda. Aku tampak biasa-biasa, bahkan pakaian yang kukenakan sedikit lusuh. Sementara diriku di hadapanku, begitu bersinar. Pakaiannya apik, wajahnya bersih dan senyumnya tulus.
Kami berjalan beriringan singkat, lalu duduk di kursi, saling berhadapan dengan meja kayu mengkilap di antara kami. Ia menaruh pohon lilinnya di tengah meja.
"Jadi, kamu sudah memutuskan apa yang akan kamu lakukan untuk merancang masa depanmu?"
Dahiku mengernyit. "Apa yang akan aku lakukan? Aku tidak tahu. Orang tuaku belum pernah menyinggung hal itu."
Balik diriku yang bersinar itu mengerutkan dahi. "Kenapa begitu? Kamu harus melakukan apa yang kamu mau, bukan orang tua apalagi orang lain."
Lidahku tanpa sadar menyapu bibir dengan tatapanku terpaku pada pohon lilin, menenggelamkan buih-buih pikiran tentang persepsi yang kudapat selama ini, bahwa, "Bukankah kita harus mengikuti orang tua?"
"Jika begitu, kapan pikiranmu berkembang? Ya, mengikuti orang tua, tetapi ketika kamu berpikir lebih luas dan bertekad, kamu bisa mengemukakan apa yang dirimu inginkan. Tentu selama itu bermaksud hal yang baik, dan bahkan lebih bagus dari apa yang orang tuamu perintahkan, mereka tidak akan menentang," ujarnya dengan sorot mata tegas dan intonasi lembut.
Bibirku kini saling mengatup. Pandanganku menunduk, rasa sesak sedikit demi sedikit terasa, seperti ada sebuah gumpalan di dadaku.
"Aku ... aku takut salah langkah."
Diriku di hadapanku tertawa kecil. Ia mencondongkan wajahnya, menatapku lekat.
"Kalau kamu seperti itu, lantas siapa yang akan menjalankan poros kehidupanmu?"
Kemudian, dia kembali menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Kamu pasti sering mendengar bahwa kehidupan layaknya roda, 'kan? Ada kalanya kita akan berada di bawah, juga pasti kita akan berada di atas," ucapnya lalu menarik napas, "Semua itu melalui proses. Dan proses ada ketika kita punya tujuan untuk dicapai. Tujuan itu, siapa yang menentukan? Diri kita sendiri."
Tatapanku fokus pada matanya yang terus berbinar. Namun, lagi-lagi aku merasa ada sesuatu yang membuat kepalaku menunduk lagi, tak berani memandangnya.
"Tapi, terkadang aku tidak percaya diri dengan tujuan yang ingin kucapai. Apakah aku bisa melakukannya, sementara orang-orang di sekitarku begitu unggul."
"Kamu tidak boleh seperti itu. Abaikan saja dan fokus pada dirimu sendiri. Cukup jadikan mereka sebagai motivasi untukmu."
Mendadak, pohon lilin itu disodorkannya kepadaku. "Kenali dirimu untuk menemukan apa yang kamu inginkan, tujuan yang hendak kamu capai. Yakinlah pada diri sendiri. Jangan lupa untuk menghargai pendapat dirimu sendiri tentangmu. Lalu, syukuri apapun kondisi dirimu. Karena itu merupakan bentuk mencintai diri sendiri."
"Apapun alasan kita dilahirkan di dunia ini, tetaplah mencintai diri sendiri. Sebab, dengan cinta, bukankah semua terasa lebih indah dan menyenangkan?"
Tanpa sadar, senyumku ikut mengembang seperti diriku di depanku.
***
Aroma buku dan kayu menggelitik hidungku. Perpustakaan memang ruang tanpa batasan tentang pandangan dunia dalam berbagai bidang yang bercerai berai di setiap buku yang dimilikinya. Itu menakjubkan, dan kini aku berada di ruangan itu ditemani beberapa buku yang telah kuambil.
Mimpi malam itu mendatangkan motivasi untukku melakukan apa yang kuinginkan, dan sekarang aku akan mempelajari banyak hal untuk tujuan yang bakal kucapai. Aku yakin, aku akan bersinar suatu saat nanti, seperti diriku yang lain di mimpi itu.[*]
KAMU SEDANG MEMBACA
White Background
General FictionPernahkah kamu berpikir, 'kenapa aku menjadi baik?' Atau justru, 'kenapa aku menjadi jahat?' Di sini, kamulah sang protagonis sekaligus antagonis. Kamu pula yang akan menyelesaikan masalahmu sendiri. Lantas, bagaimana kamu menjawab pertanyaan-perta...