Perumpamaan bahwa ada roda kehidupan di setiap nasib orang-orang sudah sangat populer, bahkan mungkin telah keluar-masuk ribuan maupun jutaan kali di telinga para pendengarnya.
Ya, tentang wejangan untuk tidak menyerah karena ada kalanya kita akan berada di bawah, lalu berada di atas, ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, Ayera merasa ada sesuatu membuatnya merasa aneh dengan perumpamaan itu. Perutnya bak berterbangan kupu-kupu setaman yang ada di taman tempatnya terduduk sekarang. Ia jadi mual, kepalanya pusing.
Sungguh, dirinya muak dengan hal ini. Dipikirkan berapa kali pun, ia tak berhasil menemukan jawabannya. Dadanya sesak memikirkan beberapa kejadian lalu, ia ingin menangis, tetapi terasa sulit.
Hingga akhirnya, Ayera dengan leher yang dibalut syal cokelat muda berpadu mantel cokelat tua itu bangkit dari duduknya di bangku taman yang dingin. Menyisakan perasaan-perasaan kecewa yang ditujukan pada dirinya sendiri.
Agaknya gadis itu tidak cukup sadar dengan beberapa tatapan tersembunyi yang terhampar di tempat-tempat dekatnya. Seorang bertopi bundar abu-abu menatapnya dalam dengan menghisap sebatang rokok lewat pipa cangklongnya.
Tatapannya terasa sangat datar, bahkan ketika melihat beberapa orang berpakaian gelap menghampiri Ayera. Ia mencebik, "Yang benar saja. Ini tidak menyenangkan. Semua orang juga tahu ending dari pergulatan fisik perempuan dengan beberapa pri—!"
Belum sempat pria bertopi abu-abu menyelesaikan komentarnya, mulutnya telah menganga melihat satu dari mereka terlempar ke belakang, dan Ayera tengah berpose mengepalkan tangan di udara. Jangan tanya pandangan matanya yang telah setajam belati dan seberacun karat.
Ada empat pria yang menyerangnya, satu telah tumbang dan ngos-ngosan, meringkuk di tanah sembari memegangi lehernya yang tampak membiru, serta merta lebam di sudut bibirnya.
"Kenapa kalian diam? Cepat maju!" teriak Ayera, wajahnya seperti tengah menghabisi orang yang dirinya memiliki dendam kesumat.
"Ah! Kita harus jerat wanita itu setelah ini!" Salah satu dari mereka berseru. Namun, Ayera sama sekali tidak gentar. Bahkan seberkas seringaian membuatnya tampak tangguh.
Pria bertopi yang setia bersembunyi itu mengernyitkan dahi. Helaan napasnya rendah bersamaan segumpal asap, antara takjub dan heran yang keterlaluan heran. "Kenapa wanita sulit sekali untuk ditebak?"
Ayera kembali diserang dalam berbagai sudut, tetapi modifikasi taekwondo dan silatnya sungguh berjalan lancar malam ini. Menggerakkan kaki untuk menghindar sekaligus menyerang, dan kepalan tangan berkeringat yang belum melesat sampai para pria itu terkapar di atas tanah lembab.
"Kurang ajar! Kalian merendahkanku bahwa aku adalah wanita yang tidak bisa menjaga diriku sendiri dengan meminum bir lebih dulu dan setengah mabuk pada saat menyerangku! Keterlaluan! Kenapa dunia ini keterlaluan sekali?!"
Beberapa pukulan dan tendangan tambahan Ayera layangkan keras-keras kepada pria-pria itu. Wajah mereka penuh memar bekas tonjokan, sementara wajah Ayera penuh amarah, kesedihan dan kekesalan.
Gadis beranjak dewasa itu lalu memerosotkan diri, memeluk kedua lutut sambil menenggelamkan wajahnya di antara lutut dan perutnya di sana. Syalnya mulai membasah. Ia terisak, sungguh malang.
Rupanya sesalju mengerti dengan perasaan Ayera. Mereka turut bersedih dengan meluruhkan kristal-kristal salju, bersamaan para pembawa berita televisi memberitakan salju pertama tahun ini telah turun.
Ia masih terisak, sakit hati dengan dunia yang ia rasa amat tidak adil. Ketika semua titik pencapaian telah ia kira dan tujuan telah ada, mengapa giliran keadaan yang tak mendukungnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
White Background
General FictionPernahkah kamu berpikir, 'kenapa aku menjadi baik?' Atau justru, 'kenapa aku menjadi jahat?' Di sini, kamulah sang protagonis sekaligus antagonis. Kamu pula yang akan menyelesaikan masalahmu sendiri. Lantas, bagaimana kamu menjawab pertanyaan-perta...