Pada malam-malam sejak bumi dipahatkan, banyak mimpi di tidur manusia. Lalu, mereka membuat mimpi yang menjadi harapan untuk hidup mereka.
Kata orang, jangan terlalu banyak bermimpi, kalau tidak terwujud akan sakit nanti. Aku tak peduli, aku tetap banyak bermimpi. Aku berbicara pada ibu, sampai raut ibu seakan berkata tegas, cintaku untukmu sekarang hanyalah mimpi.
Maka dari itu, ibu pasti akan berdeham keras ketika fokusku hilang. Ketika aku mencoba untuk mengutarakan bagaimana perasaanku, apa mauku, apa cita-citaku, beliau tak pernah buka rungu. Pada saat itu, banyak yang kuinginkan. Teman-temanku selalu berseru tentang cita-cita mereka. Dokter, astronot, presiden. Ruang-ruang mereka seluas alam.
Maka, alam sahabatku ketika menjelang malam. Bintang-bintang di sana kurasa lebih mencintaiku dari ibu, tetapi tidak lebih dari ayah. Beliau menyayangiku; aku disayangi seperti putri-putri lainnya. Meski, barang obrolan tak pernah terkumpul dalam satu lingkaran, kecuali meja makan.
Aku menerawang jauh ke langit, mengambil bintang, memberikannya pada ibu, lalu berkata, “Aku anak kecil yang mencintaimu paling besar, Ibu. Bukankah pecah tangis pertamaku mengharukanmu? Bukankah aku berhak dicintai olehmu?” Oh, lalu angin berbisik halus. Menyadarkanku pada gunung dan hutan yang jalannya tak pernah halus. Saat itu kuseka air mata yang ingin meleleh lagi.
Hingga ada masa ketika aku mengacak lemari usang. Lalu, kutemukan sebuah kotak yang cukup menarik perhatian. Aku hendak mencari berkas lama yang penting untuk keperluan untuk keperluan sekolah SMA-ku. Pria yang kucintai pertama kali telah tiada semenjak aku menyinggung beliau. Ibu masih sama, diam dan berkata seperlunya.
Oh, apa ibu tak pernah kesepian? Jadilah aku harus selalu berusaha sendiri.
Kotak itu berwarna cokelat tua antik. Apa mungkin simpanan ayah?
Suara deritnya menggelitik telinga. Di dalamnya hanya ada secarik kertas kecil. Kertas itu kubuka, dan huruf-huruf di sana bagai simfoni musik yang menyayat hati, seakan maut menggetarkan lubuk hati. Tak dapat kuhindari lagi, air mata jatuh tanpa izin. Tersedu-sedu, nyeri sekali di dada.
“Apa yang sedang kamu lihat?”
Aku terkejut, tubuhku menegang. Lalu kumasukkan lagi kertas itu dengan cepat setelah suara keras, menggelegar dan menyentak terdengar.
Ibu dengan bola mata hitamnya menembus kekuatanku, beliau menautkan alis. “Kenapa kamu menangis?” Aku menggeleng cepat. Gegas berdiri sebelum dimulainya interogasi. Tak lupa map-map yang kucari tadi kubawa.
Waktu kemudian berlalu. Aku memantapkan minat pada sastra, kuliah di universitas yang kuinginkan. Ibu tetap yang membayarnya, meski terlihat beliau mengurusku dengan tak menikmatinya. Seakan aku hanya perlu diurus tanpa dicintai.
Ah, kakak lelaki tertuaku satu-satunya mengatakan bahwa ia sudah mempunyai calon. Aku iri dengannya ketika binar mata ibu tampak sangat berbeda saat mendengarnya.
“Aku tidak akan membayarmu secara cukup lagi setelah ini. Belajarlah bekerja.” Rahang ibu terlihat mengeras. Wajahnya kaku. Padahal saat itu, ibu mengantarku di kos-kosan setelah mengunjungi kampus.
Aku diam, hanya merasakan terik yang sepi di antara ibu, jarak kami bagai kian kilometer jauhnya. Banyak ibu yang juga mengantar anaknya, bibir mereka penuh dilukis gambar garis yang bersinar. Doa, nasihat dan harapan lalu terbumbung tinggi.
“Ibu menyesal mempunyai diriku?” Satu kata pun tak ibu ucapkan, sampai kakak menjemput.
“Jaga kesehatan ibu, ya,” pesanku. Kakak tersenyum kecil, berpesan padaku untuk tidak mudah sakit dan belajar dengan baik.
Malam menuai janji untuk bertemu denganku lagi. Sekian malam. Pikiranku lagi-lagi terbang. Pesawat mengudara, bayangan ayah jelas di kepala. Dan kembali, sesak rindu berjejal keluar dan membasahi pipi sampai kerah jilbabku.
Aku lelah menebak sikap ibu yang tak pernah hangatnya denganku. Bagai musim yang terus terganti, yang juga membuatku sakit dan benci.
Kutulis sajak-sajak untuk pergi yang tak tahu datangnya ibu yang sehangat teh di musim hujan.
Jiwa-jiwa runtuh dan lemah ini,
Tak punya sandaran ketika malam kelam.
Harap-harap yang selalu mengambang ini,
Kurasa, tak pernah akan jadi kenyataan.
Jikalau hati-hati manusia terkena virus beku,
Maka sepotong hati yang masih hangat ini cukuplah kuberikan padamu, Bu.
Kertas itu keluar lagi tanpa sengaja di antara kertas lain di buku agenda sekaligus catatanku. Oh, tulisan ayah membuatku merasa berharga seperti emas, hampir membuatku menangis emas.
Kata orang, terlalu berharap itu berlebihan. Aku tidak begitu, tidak akan begitu. Anakku berdedikasi nanti. Dia punya banyak mimpi. Anak perempuan yang lahir di sabit ini.
Kepalaku mendadak berdenyut dengan telinga berdenging keras. Seperti komputer yang dihack, pertanyaan-pertanyaan lalu masuk dengan liar. Bisik-bisik itu membuatku mual.
Ayahmu menganggapmu berharga, tetapi mengapa beliau sama diamnya dengan ibumu?
Hanya senyum, apakah cukup membuktikan dia mencintaimu?
“Ah, cukup! Ayah mencintaiku!”
Oke, baiklah.
Lalu hanya karena ibumu selalu berwajah datar, apakah cukup membuktikan dia tidak mencintaimu?
Gelap seketika.
Ketika sinar yang menyilaukan mencercah, aku bangun di sebuah ruangan putih. Ruang kosong, hanya putih.
“Sebenarnya banyak role film yang perlu kuceritakan padamu, anakku.” Suara ayah mengejutkanku dan membuatku merinding.
Sekian tahun, saat lima tahun kebiasaanku meloncati jendela untuk memeluk alam, aku mendengarnya. Aku tambah terkejut dan takut ketika melihat beliau, padahal beliau amat sejuk senyumannya, yang lalu itu berusaha menenangkanku.
“Ayah adalah orang yang serakah, orang-orang bilang. Ibumu juga berkata begitu.” Entah, lidahku kelu untuk menjawab, rasanya masih ingin terus mendengarkan.
“Ayah punya banyak mimpi. Dan akhirnya, ayah mati karena mimpi-mimpi ayah sendiri; orang-orang menangkapnya begitu.”
Ayah menghela napas panjang, kemudian tersenyum semringah lagi.
“Dulu, ayah ingin menjadi penulis dan pembaca hebat. Juga mempunyai toko buku yang hebat.”
“Untuk mengerti manajemen dan seluk-beluknua, ayah bekerja di sebuah toko buku yang besar. Di sana maut menculik ayah. Buku-buku besar jatuh, lalu di antaranya menjatuhi kepala ayah.”
“Saat masih sadar, ayah mendengar orang-orang bilang itu karena ayah serakah. Padahal bukan.”
“Bermimpilah dengan tanpa terbebani. Ayah tidak merasa terbebani. Lalu kenapa mereka yang seakan terbebani?”
“Banyak bermimpi, apakah serakah?”
Aku terbangun di kamar sekarang, napasku sedikit ngos-ngosan. Aku mengerutkan dahi.
Apa sekarang, perspektif ibu yang salah?
Perspektif sebagian orang salah?
KAMU SEDANG MEMBACA
White Background
Fiksi UmumPernahkah kamu berpikir, 'kenapa aku menjadi baik?' Atau justru, 'kenapa aku menjadi jahat?' Di sini, kamulah sang protagonis sekaligus antagonis. Kamu pula yang akan menyelesaikan masalahmu sendiri. Lantas, bagaimana kamu menjawab pertanyaan-perta...