Film (Transformers : Dark of the Moon)
"Baunya enak."
Kalimat pertama yang ku ucapkan saat pertama kali menginjakkan kaki ke bioskop bukanlah mengomentari tentang interior ruangannya yang mewah maupun struktur bangunan yang megah. Tentu saja aku terkesan dengan itu, namun ada yang lebih handal dalam mencuri perhatianku dibanding gedungnya.
Tentu saja, bau berondong jagung yang menyeruak masuk ke indra penciuman tanpa permisi adalah pemenangnya. Aku masih memiliki ingatan segar tentang bagaimana lembutnya aroma mentega dan sengatan harum nan manis dari karamel meleleh yang menjadi bau paling dominan di setiap sudut lobi bioskop. Jujur saja, baunya lebih enak daripada aroma samar roti 'O di lorong bandara.
Hidungku benar-benar tidak melewatkan satu detik pun tanpa mengendus aroma yang menggelitik rasa laparku. Sayangnya kegiatan menyenangkan itu harus berhenti ketika orangtuaku menyeru dan menarikku untuk masuk ke dalam studio. Film akan segera dimulai.
Aku sama sekali tidak tahu bagaimana sistem menonton bioskop kala itu, masih benar-benar buta karena ini adalah kali pertamaku menonton bersama banyak orang asing di satu ruangan yang sama dengan layar selebar kamarku dan suara menggema memekakkan telinga. Film yang kutonton bukanlah film pilihanku maupun genre yang kusuka. Transformers: Dark of the moon, adalah film pertama yang ku tonton di bioskop bersama keluargaku. Papa dan adik laki-lakiku memang penggemar transformers, nggak heran kalau kami semua akhirnya menonton film laga dari Amerika ini.
Yakin sekali Mama dan adik perempuanku, Audy, tidak menikmati filmnya dengan baik, sama sepertiku. Terlebih lagi, suasana canggung ketika sang aktor berciuman dengan kekasihnya dan beberapa adegan kissing yang cukup sensual lainnya. Tentu saja rasanya tidak nyaman karena saat itu, sekitar tahun 2017, aku masih kecil, seorang anak yang baru bertumbuh remaja. Menonton film laga bersama keluarga bukanlah ide yang bagus, saat itu aku tidak memiliki kesan yang baik terhadap filmnya. Barulah setelah agak dewasa, beberapa tahun setelahnya aku menonton ulang film tersebut karena penasaran. Untungnya segalanya menjadi mudah karena telah banyak aplikasi menonton film berbayar seperti Netflix, HBO dan lainnya. Ternyata filmnya sangat seru saat aku menikmati setiap adegannya dengan benar dan membiarkan diriku tenggelam dalam pesona manis LaBeouf yang masih muda kala itu. Semua aktor tampan disana berhasil memaksaku untuk jatuh cinta pada film ini dan memutuskan untuk bergabung dengan Papa dan adik laki-lakiku sebagai penggemar setia yang tidak terlalu setia ini (Karena akhir-akhir ini kami sering oleng kesana kemari setelah menonton banyak koleksi dari Marvel studio. Wakanda Forever!).
Kembali lagi ke cerita pengalaman pertamaku menonton di bioskop. Pada saat itu, dibandingkan menikmati filmnya, aku malah membiarkan diriku memperhatikan setiap detail yang ada dalam ruangan. mulai dari kursinya, warna kursi, ukuran kursi dan jarak setiap kursi serta meneliti bagaimana arsitek merancang ruangan tersebut dengan memperhatikan segala aspek mulai dari apa yang akan penonton lihat dan apa yang pendengaran mereka akan terima. Tak ada barang satu pun yang luput dari netraku, bahkan setiap sampah yang ditinggalkan oleh penonton biadab yang tak tahu etika dasar pun kuperhatikan dengan seksama. Tanpa memedulikan film yang diputar di layar lebar, aku menikmati bioskopnya, memuaskan hasrat keingintahuanku yang besar.
Baguslah karena ada banyak hal menakjubkan yang tersimpan rapi di memori indahku. Mulai saat itu, kuputuskan bahwa bioskop akan menjadi satu diantara banyak tempat yang kusuka. Sangat menyenangkan untuk berada disana!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kataku; Layar lakon
Non-FictionUlasan tentang film yang ku tonton. Bukan Resensi!