Siapa Lelaki itu?

66 10 1
                                    

Shanen mulai menggerakkan kepalanya ke segala arah. Tangannya menarik-narik rambutnya dengan kuat. Helai demi helai rambut tersangkut di sela jemarinya. 

Pras berusaha menghentikan tingkah istrinya yang kalau dibiarkan akan semakin menggila. 

"Shanen. Shanen, sadarlah. Jangan lakukan ini. Jangan sakiti diri sendiri. Sadar Shanen. Aku minta maaf, ya. Aku minta maaf. Sudah, ya, Shanen. Cukup.'

Pras menahan dua tangan istrinya agar tak terus menarik rambutnya yang semakin tipis. 

Dipeluknya tubuh istrinya kuat-kuat hingga wanita itu tak bisa berkutik lagi. Shanen menangis sesenggukan dalam pelukan Pras. Ketika dirasa tak ada lagi perlawanan dari istrinya, Pras membopong tubuh itu ke kamar. Membaringkannya di tempat tidur dan menghapus air matanya. 

Dikecupnya kening Shanen. Wanita itu masih menangis. Pras mengambil obat di dalam laci dan membantu Shanen untuk duduk. Dimintanya Shanen membuka mulut. Wanita itu menggeleng. 

"Buka mulutnya Sayang," bujuknya. Shanen semakin kuat menggeleng. 

Pras langsung memasukkan obat kecil itu ke mulutnya dan menaruhnya di ujung lidahnya. Tangannya bergerak cepat menekan leher belakang Shanen dan tangan satunya memencet hidung istrinya. Lalu dia pun mencium wanita itu dan lidahnya memaksa masuk. Meletakkan obat kecil itu di mulut Shanen dan memaksa wanita itu menelannya. Rasa pahit membanjiri mulut Shanen. Pras melepas ciumannya dan menyodorkan segelas air putih yang selalu tersedia di meja kecil di samping tempat tidur. 

"Istirahatlah. Setelah melayat, aku langsung pulang. Aku nggak akan lama."

Obat yang diberikan Pras membuat syaraf-syaraf tegang Shanen menjadi lebih relaks. Dia mengangguk lemah dan mendesah panjang. Matanya pun menjadi berat. 

Pras duduk sebentar memastikan istrinya benar-benar tidur. Dia tak bisa membiarkan istrinya tetap terjaga dan tak bisa menguasai diri. Baru setelah dengkuran halus terdengar dan napasnya lebih teratur, Pras berdiri dan memandang sejenak ke arah istrinya. 

"Seharusnya kamu yang mati. Bukan dua wanita itu," katanya lirih. 

Kepalanya berdenyut pelan. Kondisi Shanen cukup merepotkannya. Untungnya dia punya usaha sendiri jadi tak harus selalu ke kantor dan meninggalkan Shanen. Tapi dia tak punya cukup keberanian untuk menyingkirkan Shanen. Wanita ini alibi terbaiknya untuk bersikap seperti malaikat. 

Pras memejamkan mata. Berusaha mengembalikan ketenangannya lagi. 

"Aku harus segera keluar kalau nggak mau semakin digunjingkan orang."

Lelaki itu pun keluar kamar. Berjalan ke pintu depan dan membukanya. Suasana di luar semakin ramai. Sepertinya jenazah baru saja selesai dimandikan dan dikafani. Siap untuk disolatkan ke masjid.

"Baru muncul, Bro? Kenapa? Kumat lagi?" sapa Dody, tetangga sekaligus teman nongkrongnya. 

"Biasalah. Nggak mau ditinggal."

"Repot banget ya. Kayak punya bayi aja."

"Mirip. Kudu diboboin dulu baru bisa ditinggal."

"Kalau bayi minum ASI, kalau bayi gedemu minum pe–"

"Hush! Kontrol lu kalau ngomong. Kita lagi di acara duka. Bukan kedai kopi," kata Pras mengingatkan sahabatnya yang hampir keceplosan. 

Dody langsung menutup mulutnya. Mereka berdua berdiri tegak karena keranda sedang dimasukkan ke dalam mobil jenazah. 

"Kasian, ya, Bro. Masih muda, cantik, belum punya anak, ehh udah meninggal. Apes banget suaminya cuma bisa mantab mantab sebentar aja," kata Dody di dekat telinga Pras.

"Malah enak suaminya bisa cari lagi," kata Pras acuh. Matanya fokus menatap seorang lelaki yang berada di antara para pelayat. 

Lelaki itu asing, tapi Pras merasa pernah bertemu dengannya entah di mana. Dan itu sangat mengganggunya.[]

=========
14 hari up ntar malam jam 7. Tungguin yaaa ^^

Foto di Dalam DompetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang