Prolog

43 4 1
                                    

Dua tahun yang lalu..

Arlan menatap kosong atap kamarnya. Suara bising keributan, dan gelak pecah tangisan anak kecil membuatnya menutup kedua telinganya.

Brakk!

Pintu kamarnya di buka oleh anak kecil lelaki sekitaran umur tujuh tahun.

Dia mendekati Arlan yang sedang mencoba menghilangkan suara bising itu di telinga, serta kehidupannya.

"Kak Arlan, jangan biarin ibu pergi kak." Kata anak kecil itu, sebut saja namanya Fandy, Adik kecil Arlan.

Arlan tidak menggubris ucapan adiknya. Dia tetap berbaring sambil menutup telinganya.

Fandy menangis sambil keluar kamar Arlan. lantaran melihat Rena, ibu mereka menggeret kopernya untuk pergi dari rumah.

Kini gelak suara tangisan Fandy makin menjadi ketika Rena, ibu mereka keluar dari pintu. Fandy berlari menuruni anak tangga untuk mengejar Rena.

Arlan yang tadinya enggan untuk keluar kamar dan malas untuk tahu situasi yang terjadi tidak mengikuti egonya dan tetap keluar mengejar Fandy untuk menariknya.

Di ruang tengah. Heri, ayahnya hanya diam tidak menghentikan kepergian istrinya itu. Dan juga terdapat adik Arlan yang lebih besar dari Fandy sedang sibuk bermain ponsel, Andry namanya.

Andry nampak acuh dan tidak peduli apa yang terjadi.

Rena pergi dengan taxi.

Fandy menangis menjerit, tak terima dengan kepergian ibunya. Bahkan ayahnya tidak menghentikan kepergian ibunya yang jelas-jelas mereka semua butuh sosok itu, untuk kehidupan mereka.

Arlan menarik tangan Fandy dan mendekap tubuh adik kecilnya sambil menariknya untuk kembali ke kamarnya.

Plakkk!!

Satu tamparan mengenai pipi mulus anak kecil tak ada dosa itu. Ya, Arlan menampar wajah Fandy begitu antusias.

"Lo diem ga?! Gausah ikut ibu Lo yang kaya ban*sat itu. Lo ikut gue aja!" Bentak nya, amarah nya sudah di ubun-ubun hingga membuatnya berlaku dan berkata kasar.

Fandy tetap menangis, sambil memegang pipinya yang merah dan juga terasa panas akibat tamparan sang kakak.

"Fandy mau ikut ibu kak Arlan, hiks." Rengeknya lagi sambil menahan tangis.

"Udah Lo diem-diem aja di rumah, nurut sama gue."

***

Setelah sejam berlalu adiknya berhenti menangis, Arlan menatap kosong ke mata sembab adiknya yang kini tertidur pulas di ranjang kamarnya.

Jam pukul 21.45.

Malam Minggu lebih tepatnya.

Hari ini , hari dimana semua akan merubah kehidupan mereka.

Tepat dua tahun kejadian ini. Arlan sekalipun tetap mengutuk kepergian ibunya yang sampai kapanpun ia tidak akan Sudi melihat batang hidung Rena.

Sungguh, kepergian ibunya tidak di halangi oleh ayahnya sebab sikap egois ibunya yang sudah berulangkali untuk tidak mengikuti komunitas yang tidak jelas itu.

Arlan turun dari tangga dan menghampiri sang ayah yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil memijat keningnya, lalu duduk di samping sang ayah.

"Maafkan ayah, belum bisa jadi ayah yang baik." Lirihnya dengan suara tangisan.

Arlan hanya diam menatap hitam layar televisi. Menghela nafas, ada rasa kesal juga dengan ayahnya.

"Gimana nasib Fandy nanti? Kenapa dia ga mikir buat itu!" Arlan menekan kata dia yang tertuju oleh Rena.

"Ayah sanggup untuk mengurusi kalian, tapi untuk Fandy, ayah serahin ke Tante Sandy."

Arlan hanya mengacak rambutnya frustasi.

Heri bukan tidak menginginkan Fandy, hanya saja anak kecil itu butuh pelukan seorang ibu yang tidak mungkin bisa ia lakukan karena sibuk dengan kerjaan nya.

Arlan mengerti dengan ayahnya itu, bukan cuman dirinya bahkan Heri juga sangat terpukul atas kepergian Rena dari rumah.

"Tolong fokus ke kuliah kamu, gausah mikir soal ibu kamu, ayah akan berusaha bujuk ibu kamu untuk kembali ke rumah."

Namun, perkataan ayahnya belum juga terwujud kan. Kehidupan Arlan nampak fana dan tidak ada lagi suara cempreng ibunya ketika membangunkan mereka, tidak ada sarapan pagi hari, hanya ada meja kosong.

Perlahan ayahnya juga jarang pulang dan memilih tinggal di apartemen. Bahkan Andry adiknya pun kerap kali tidur di rumah temannya.

Arlan sendiri di rumah besarnya, Tanpa seorang pun selain pembantu di rumahnya.

Kesedihan kerap kali datang, setegar apapun dirinya berusaha untuk tidak sedih, namun kesedihan itu selalu datang ketika ia sudah di rumah.

Menyesap satu demi satu batang rokok, berharap dirinya tidak kepikiran soal keluarganya yang sudah hancur ini.

Tidur tidak teratur selalu bergadang sambil bermain game dengan rokok yang selalu menemani nya.

Sehancur itu dirinya sejak saat itu. Tidak ada dekapan kehangatan seperti dulu lagi, tidak ada yang merawat nya lagi ketika ia sakit, tidak ada.

Bahkan tidak ada orang yang bertanya padanya apakah dirinya baik-baik saja?

Yang Arlan punya saat ini hanya tiga sahabatnya yang selalu menyemangati dirinya dari keterpurukan kehidupan Arlan.

Tiga sahabat yang sudah menemaninya dari mereka Sekolah Dasar, ketiga sahabatnya yang membuat Arlan sedikit melupakan kesedihannya.

Hanya mereka yang Arlan punya untuk saat ini.

~Day 06~

Day 06Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang