"Tadaima!" Aoki mengucapkan salam dengan setengah hati sembari melepas sandalnya di genkan -undakan kecil pada beranda dalam sebagai tempat mengganti sepatu dengan sandal rumah.
"O-kaeri!" balas ibunya. "Tumben banget keluar pagi-pagi?"
"Abis joging. Aoki tidur dulu, Mah!" Ia menyebrangi ruang keluarga seluas 17 tatami -1 tatami berukuran 1,6meter persegi- yang disekat oleh pintu geser untuk memisahkannya dengan dapur. Tangga menuju lantai dua berada di sebelah rak dinding yang memajang buku serta sebuah lemari butsudan milik ayahnya. Lemari itu berisi benda keagamaan Buddha dan hanya dibuka di saat-saat tertentu untuk beribadah.
"Tunggu, Aoki! Tunggu sebentar!" Bu Melati mencegah putranya yang hendak naik ke kamar. "Tolong antar ini ke rumah Pak Rudolf." Ibunya menyerahkan mangkuk porselen tertutup yang berisi omurice.
Aoki mengerang. "Suruh Rin-chan aja yang ke rumah."
"Eeh, mana bisa begitu? Sudah, bawa aja ke sana! Cepat, keburu dingin!"
Masih dengan setengah hati Aoki menerima mangkuk porselen itu untuk diantar ke seberang rumah. Langkahnya gontai. Yang dia inginkan hanya segera berbaring dan tidur.
Pagar hidup yang mengelilingi rumah keluarga Tjiptobiantoro tampak menyegarkan matanya yang berat. Tanaman hijau masih diselimuti tetes-tetes air bekas embun pagi tadi. Aoki tidak tahu jenis tanaman apa yang dirawat Rinjani dengan sepenuh hati hingga bisa tumbuh lebat dan rapi seperti ini. Berbeda dengan rumahnya sendiri yang didesain Papa seperti rumah masyarakat Jepang pada umumnya, rumah keluarga Tjiptobiantoro lebih modern. Minimalis lebih tepatnya. Rumah itu ditinggali empat orang termasuk Rinjani. Sepeninggal Bu Citra -mama Rinjani- bertahun-tahun lalu, Pak Rudolf tidak pernah menikah lagi. Beliau membesarkan tiga orang anak seorang diri sampai mereka dewasa seperti hari ini.
"Permi-"
"Oii, Kapten!"
Belum sempat Aoki mengucapkan salam, abang nomor dua Rinjani tiba-tiba membuka pintu. Sosok yang dikenal memiliki kepribadian berkebalikan dengannya itu tampak senang melihat Aoki muncul di undakan depan rumah.
"Val!" sapa Aoki ringan. Mereka berdua berada di tim e-sport yang sama. Hari ini merupakan hari pertama jadwal kunjungan semester mereka. Dalam tim Apollyon 1 yang berisi Valentino, Yuza, Gideon atau sering dipanggil Ion, dan Wanda, Aoki punya sebutan Kapten karena dia adalah kapten di tim tersebut. Valentino sendiri mengisi posisi atau peran utama sebagai Carry. Sedangkan Aoki menjadi Midlaner yang sering dianggap paling sulit dan rumit karena memerlukan ketangkasan serta pemahaman mendalam tentang kemampuan setiap peran di tim lawan.
"Rin-chan baru berangkat!" Tanpa tedeng aling-aling Valentino menebak siapa yang dicari Aoki setiap kali datang, selain dirinya tentu saja.
Aoki menarik senyum simpul karena ledekan Valentino yang meniru nama panggilan Rinjani. "Omurice buat Bang Mika."
"Souka!" Valentino meniru aksen Aoki saat mengucapkan 'begitu, ya' dalam bahasa Jepang. "Orangnya udah berangkat sejak jam enam."
"Ya, sudah. Kamu aja yang makan!"
"Ya, masuk kalau gitu!"
"Kamu sendiri ngapain keluar?"
"Eh?" Valentino melihat sekeliling. "Cari angin. Suntuk di dalam."
Aoki mengernyit, tapi memutuskan untuk tak ambil pusing. Yang tidak dia tahu, obrolan di meja makan Tjiptobiantoro telah meninggalkan kesan kurang baik di antara anggota keluarga. Menurut Valentino, Aoki tidak perlu tahu itu.
Berbeda dengan rumah Aoki yang tidak memiliki ruang tamu, rumah keluarga Rinjani memiliki ruang tamu yang langsung terhubung dengan ruang keluarga tanpa sekat. Ukuran ruang keluarganya jauh lebih luas dari ruang tamu. Apalagi dapurnya. Karena Pak Rudolf adalah seorang tukang roti, dapurnya memiliki luas hampir 20 tatami dalam satuan Jepang. Isinya lengkap. Berbagai macam oven dan ruang pendingin tersedia untuk mendukung kinerja Pak Rudolf membuat roti, kue, dan pastry sebelum didistribusikan oleh para karyawan ke dua toko yang masih bertahan di tengah pandemi. Dua tahun belakangan telah menjadi tahun buruk bagi bisnis hampir semua orang. Banyak yang diPHK atau disuruh mengundurkan diri dengan alasan pengurangan karyawan. Toko roti Tjiptobiantoro hanya salah satu di antaranya. Untungnya, beberapa bulan ini usaha mereka mulai bangkit kembali setelah pandemi dan himbauan isolasi mandiri mereda.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGOIRIE: Green Wood [Published by Lovrinz]
FantasyMagoirie terlahir sebagai manusia biasa yang sengaja dipilih untuk dianugerahi berkah oleh Sang Dewi agar menjadi para penyeimbang alam. Tugas utama mereka adalah mengawasi setiap elemen yang menjadi tanggung jawab masing-masing, dan berhak untuk me...