22 - Kita Terlalu Memaksa

27 4 0
                                    

Turun dari atas motor, dia mengulurkan helm milik si pengemudi. Terdiam, menatap pengemudi motor itu dengan gelisah.

"Lo bener gapapa?" tanya dia. "Kalau emang mau nangis, ya udah silahkan." lanjutnya.

"E-eh!"

Tubuhnya terdiam kaku. Matanya mengerjap berulang kali. Aroma tubuh yang dia kenal menyelimuti indra penciumannya. Pelukan hangat ini yang dia rindukan.

"Kenapa gak jujur dari awal?" Hanya pertanyaan itu yang ingin ditanyakan. Tidak ada pertanyaan lain. Dia hanya butuh penjelasan.

Gadis yang ada dalam pelukannya, terdiam. Matanya berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk, antara senang, sedih, bahkan kecewa pada dirinya sendiri. "Gue mau jujur... tapi... takut kalau gak ada yang percaya-"

"Gue percaya!" potongnya cepat. "Lo... Kaisa. Kaisa Asander gadisnya Fian Mahendra. Akan selalu seperti itu!" tegasnya.

Dia, Kaisa Asander—yang berada dalam tubuh orang lain—tersenyum senang mendengarnya. Dia menangis, memeluk erat tubuh lelaki di hadapannya. Dia rindu. Seketika rasa ketakutannya hilang saat ini juga.

"Kai jangan takut lagi. Fian akan selalu melindungi Kai." Laki-laki itu mengusap kepala Kai dengan tulus.

Kali ini, bukan senyuman yang mengembang. Tetapi, Kai berekspresi datar. "Tapi, Fian jahat."

Fian mengerutkan keningnya saat Kai melepas pelukan itu dan berbicara bahwa laki-laki itu jahat. "Fian jahat?"

Kai mengangguk. "Fian udah pacaran sama Bella. Ya, walaupun cuma pelampiasan, tapi, tetap aja. Sakit Fian..." lirih Kai. "Apalagi, Kai takut..."

"Takut kalau Bella berhasil merebut Fian lagi."

Fian menggeleng. "Gak akan. Maaf Fian udah bodoh banget. Fian waktu itu gak mikir dua kali. Tapi, Kai tenang aja. Fian gak akan pernah mau sama Bella lagi. Karena, Bella terlalu mengekang. Gak sebebas sama Kai. Fian gak suka dikekang."

Kai tersenyum.

"Sekarang, Kai mau kan jadi pacar Fian lagi?" tanya Fian serius. "Eh, kita kan gak pernah putus, ya?"

Kai tertawa pelan. Namun, beberapa detik kemudian, dia memasang raut wajah sedih. Dia menatap Fian dengan mata yang kembali berkaca-kaca. "Kita gak bisa bersatu lagi... Gue udah bukan Kaisa Asander. Seberusaha apapun itu, tetap aja, Kaisa udah lama meninggal dan selama-lamanya gak akan pernah kembali. Mungkin, waktu gue tinggal sebentar lagi. Karena gue cuma numpang dan merebut kehidupan orang lain."

Kai menangis terisak-isak. "Gue takut. Belum siap buat pergi dari sini. Masih banyak orang yang gue sayang belum tau bahwa ini Kaisa. Gue pengen mereka tau. Pengen menghabiskan waktu bersama mereka sebelum benar-benar pergi dari dunia ini."

Fian mengusap kasar wajahnya. Dia membuang pandangan tidak ingin menatap gadis di hadapannya. Menatap Kai yang menangis seperti ini, membuat Fian sesak. Dia tidak suka melihat orang yang dia sayang menangis di hadapannya.

"Fian..."

"Jangan lupain gue, ya? Anggap gue Kaiza aja. Biar gak terlalu sakit pas gue pergi, haha." Dia tertawa.

Fian benci mendengar tawa itu. "Gak akan ada yang pergi. Kai akan tetap di sini."

Kai menggeleng kencang. "Enggak mungkin Fian. Semua itu memang harus terjadi. Semisal gak terjadi, gue akan menyalahkan diri gue sendiri. Karena apa? Gue udah merebut kehidupan Kaiza. Itu gak adil. Selamanya gak akan pernah adil."

"Nyatanya, kita terlalu memaksa Fian. Terlalu memaksa Tuhan dengan berbagai permintaan tanpa melihat situasi yang sebenarnya."

Fian segera memeluk tubuh mungil gadis itu agar berhenti mengatakan hal-hal yang menyakitkan antara keduanya. "Kita terlalu memaksa. Dunia memang gak adil. Kita gak pernah bisa bahagia, ya, Kai?"

Malam itu, keduanya diliputi rasa ketakutan masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, keduanya diliputi rasa ketakutan masing-masing. Ketakutan akan kehilangan sosok masing-masing. Andai waktu bisa diputar, Kai ingin merubah semuanya. Semua perbuatan yang menghantarkan pada penyesalan.

***

0856××××××××
Hai!
Sv Sylva><

Memutar bola matanya malas, itulah yang saat ini Kai lakukan saat mendapat pesan dari nomor setan Sylva.

Kai melempar ponselnya ke atas kasur. Menatap dirinya di pantulan cermin. Matanya masih sembab, akibat menangis sepanjang malam.

"Ayolah, Kai... jangan menye-menye! Lo harus tahan banting!"

Notifikasi dari ponselnya kembali berbunyi. Kai berdecak. Dia mengambil ponselnya dan membuka pesan yang lagi-lagi masuk dari nomor setan Sylva.

0856××××××××
Kamu udah simpan nomor aku, kan?
Btw, udah berangkat sekolah belum?
Mau bareng?

Kai :
Kamu nanya?
Bertanya-bertanya?
Yaudah aku kasih tau, aku gak mau sekontak sama setan selokan kayak kamuuu><

Anda telah memblokir kontak ini.

Kai menghela napas. Pagi-pagi sudah membuat mood-nya hilang. Benar-benar sok peduli. Dipikir Kai cewek lemah? Oh, tentu! Kai lemah banget kalau berhadapan sama orang yang dia sayang. Apalagi kalau orang itu marah. Kai seketika akan diam mematung.

"Shit, selamat Sylva. Lo udah berhasil bikin gue kesel."

Kai tersenyum tipis. "Selamat juga untuk Fian Mahendra yang udah bikin gue nangis semalaman!"

***

"Argh! Sialan banget si Kai! Padahal gue mau bantu dia." gerutu Sylva saat melihat balasan pesan dari Kai.

Sylva menghela napas pelan. "Oke, gue harus lebih baik lagi. Biar Marsel lihat kalau gue memang udah berubah. Gue harus bantu Kai."

"Terutama bantu cewek itu untuk menemukan kebenaran pelaku tabrak lari." lanjut Sylva.

Benar. Tanpa Kai sadari, Sylva memang benar-benar masuk ke dalam list orang-orang yang tahu kebenaran tentang tabrak lari yang dialami Kaiza.

Tapi, di sini Sylva bukan pelakunya. Justru, Sylva ingin memberi tahu pelaku sebenarnya kepada Kai. Yang di mana, malahan Kaiza dan Kaisa menganggap bahwa Sylva pelaku sebenarnya.

***

To be continue.

I'M KAI! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang