Rania mengerjapkan matanya yang terasa perih, dia melirik jam digital yang menunjukkan angka 11:12 PM. Rupanya sudah berjam-jam dia mendekam di ruang kerjanya. Menghela nafas lelah, perempuan itu beranjak dari kursi, merapikan bundelan naskah tugas milik mahasiswanya di atas meja, dan keluar dari ruangan tersebut. Saat pintu tertutup dari luar, lampu ruangan yang tadinya terang benderang otomatis meredup.
Di kamar, Rania merebahkan tubuhnya di atas kasur super king yang luas dan empuk, matanya baru saja terpejam saat pintu kamar terbuka dan menampilkan figur seorang pria bertubuh tinggi dengan setelan yang tak begitu rapi.
Pria itu masuk ke kamar sambil melepas jas hitamnya yang kemudian ia lempar ke atas sofa, langkahnya terayun gontai menuju pintu walk-in closed dan kemudian sosoknya tak terlihat lagi.
Rania beranjak dari tempat tidur untuk menyusulnya, dia bersandar di samping pintu sambil memperhatikan aktifitas si pria yang kini sedang berdiri di depan cermin meja rias untuk melepas jam tangan. Saat menggeser pintu lemari kaca tempat penyimpanan koleksi watch mahalnya, pria itu menangkap aksistensi Rania, "Kenapa belum tidur? Lembur juga?" tegurnya.
Bukannya langsung menjawab, Rania malah mendekat, menghambur memeluk pria itu dari belakang, dan menempeli punggungnya yang terlihat begitu kokoh dan tegap.
"Hmm," Rania bergumam sambil menghidu aroma prianya. "Nungguin suami aku," jawabnya kemudian.
Setelah menunaikan sholat Isya' di awal waktu, Rania sudah menyelesaikan rutinitas skincare malamnya, tapi saat mencoba untuk terlelap, dia merasa begitu kesepian—padahal rumah mereka yang sangat luas ini di huni oleh belasan asisten rumah tangga—alasannya hanya satu, dia terlalu rindu pada pria yang didekapnya kini, tak perduli seramai apapun rumahnya, dia hanya mau suaminya. Jadi saat gelisah sendirian di kamar, dia akan melarikan diri ke workroom.
Gabriel Ravindra Prangestu, pria yang dikenal Rania saat umurnya masih belasan tahun, menjalin pertunangan kurang lebih selama 10 tahun, dan baru menikah setelah Rania berhasil meraih gelar pascasarjananya, tepatnya satu tahun lalu. Jadi, untuk masa tunangan sepanjang itu, mereka masih terhitung pengantin baru yang sedang lengket-lengketnya. Tapi, tuntutan pekerjaan membuat suaminya ini kembali ke rutinitas awal setelah 6 bulan mengajukan cuti pengantin baru. Waktu cuti yang cukup ngelunjak. Namun, mereka tidak mendapatkan protes berarti dari Sang Direktur Utama yang untungnya adalah kakak kandung Ravin sendiri.
Itupun setelah Ravin mengajukan evaluasi kerjanya selama di perusahaan, proposal yang dia buat dari jauh-jauh hari sebelum pernikahan, juga surat sakti dari Komisaris Utama yakni orangtuanya, bahkan Wakil yang akan menggantikan tugasnya. Jadilah Revan menyetujui ajuan cuti sang adik tanpa protes lagi. Dan sukseslah Ravin membawa Rania honeymoon keliling dunia.
Saat pulang dan memulai hidup bersama sebagai suami istri dengan segala tanggungjawab sesungguhnya, mereka merasa sangat kesulitan beradaptasi atas padatnya jadwal pekerjaan, juga rasa rindu—tak mau berpisah meskipun satu jam—karena terbiasa bersama setiap waktu selama 6 bulan liburan.
Ravin memutar tubuhnya menghadap Rania, membalas pelukan istrinya seraya meliarkan kecupan. Rania tak protes, tapi pria itu cukup sadar diri bahwa dia harus mandi setelah seharian mendekam di ruang kantornya yang ber-AC, tak perduli semahal apapun parfum dan skincare yang dia pakai, tubuhnya terasa tak nyaman.
"Aku butuh mandi," jelasnya ketika menemukan wajah keberatan Rania saat dia melepaskan pelukan.
"Masih harum kok," Rania menjawab ngeyel.
"Ya berarti parfumnya bagus," Ravin menahan pundak Rania agar tidak menempelinya lagi. "Aku ikut Mas Revan kunjungan ke Hotel kita yang di Tangsel, balik ke kantor langsung meeting selama berjam-jam, terus nemenin ramah tamah sama klien Singapura, baru bisa pulang jam segini, aku mandinya cuma pagi tadi, Ra."
Rania mengerti, dia pun membantu Ravin melepas setelan kerjanya. Ravin sendiri tak protes sekalipun sang istri membuntutinya ke kamar mandi. Membiarkan Rania mengisi bathtub dengan air hangat, menuangkan bubble bath kesukaannya, bahkan menyiapkan lilin aromaterapi. Kemudian, istrinya yang sangat cantik itu membiarkan Ravin berendam dengan tenang.
"Massage, mau?" tawar perempuan itu.
Dengan senang hati Ravin menyetujui, membuat Rania antusias mengambil scrub dan duduk di tepi bathtub.
Di malam yang semakin larut, pasangan itu menceritakan aktivitas mereka seharian ini. Ravin dengan pekerjaannya sebagai budak kasta tinggi di Perusahaan keluarganya, dan Rania, sebagai dosen muda di Universitas tempatnya menempuh S1 dulu. Mereka bisa saling mengeluh, tertawa, bahkan merayu.
[].
KAMU SEDANG MEMBACA
RENJANA 1.02
ChickLitSejak remaja, keluarganya sudah memastikan bahwa satu-satunya pria yang harus Cerrania sukai adalah Ravindra. Perempuan muda itu melakukannya, entah karena doktrin atau memang takdir; perasaan Rania memang sungguh-sungguh terpaut pada Ravin. Sepa...